Nationalgeographic.co.id—"Tidak semua orang-orang indo mengalami diskriminasi" ungkap Warin Darsono, keturunan indo yang menetap di Jawa, dalam forum diskusi yang diselenggarakan FIB UNS pada Selasa, 26 September 2023.
Forum diskusi yang juga diikuti oleh segenap dosen dan mahasiswa dari Ilmu Sejarah FIB UNS, forum MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) Sejarah Kota Surakarta, serta MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) dengan mengusung tema 'Kehidupan Orang Indo di Belanda dan Jawa.'
Indo menjadi sebuah fenomena yang umum terjadi dalam sejarah kolonial Hindia Belanda. Anak dari percampuran kedua ras antara Jawa-Eropa dikenal dengan sebutan indo.
"Orang Eropa umumnya berpendapat bahwa percampuran kedua ras yang berbeda ini justru mengumpulkan sifat-sifat buruk dari keduanya," tulis Moch. Dimas Galuh Mahardika dan Muhammad Yusuf Efendi.
Mereka menulis dalam jurnal Historiography berjudul Kesenjangan sosial dan diskriminasi penduduk campuran (Mestizos) di Hindia Belanda yang terbit pada 2022.
Para wanita gundik itu juga dianggap tidak berpendidikan, bodoh, pembohong, dan liar karena bisa saja membunuh orang lain. Anak dari hasil perkawinan antara seorang perempuan (nyai) Asia dan pria Eropa melahirkan indo yang menciptakan citra negatif.
"Banyak tulisan yang berasal dari tahun itu, memberikan julukan pada gundik Asia yakni perempuan-perempuan hitam, yang berkelakuan seperti ternak yang bersyahwat," imbuh Dimas dan Yusuf.
Bahkan, Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: silang budaya jilid I batas-batas pembaratan (2005), menuliskan tentang orang Eropa di Hindia Belanda yang mengajak anak indo dengan julukan anak kolong.
Dikatakan anak kolong, menurut Warin, karena pergundikan di barak militer Eropa yang notabene hanya tempat serdadu atau barak militer yang sempit, anak-anak indo tidur di kolong ranjang.
Lebih jauh lagi, stigma Eropa melabeli sikap liar perempuan Asia lebih dominan dalam diri anak indo, ketimbang sikap berbudi orang Eropa. Inilah mengapa sentimen rasial mewarnai catatan sejarah kolonial di Hindia Belanda.
Fenomena pergundikan (nyai) saat itu mulai dipandang sebagai suatu aib bagi kalangan Eropa. Nyai juga disalahkan atas perubahan sikap lelaki Eropa yang hidup tak beraturan seperti seorang inlander (pribumi), dan menjauhi sikap Eropa yang dipandang paling benar.
Kisah yang paling bisa dijadikan contoh adalah perundungan yang diterima Ernest Douwes Dekker selama bersekolah di Hogere Burger School (HBS). Ibunya yang merupakan Semarang totok, dipandang hina. Itulah yang menyebabkan Ernest dikucilkan oleh teman Eropanya.
Saking rasisnya, setelah tahun 1850-an pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan sebuah peraturan Reegering Reglement jo Indische Staatsregeling, tentang penggolongan penduduk Hindia Belanda berdasarkan ras.
Penggolongan atas ras tersebut terbagi dalam tiga kelompok besar: Eropa (Europeanen) yang meliputi orang-orang Eropa, indo dan Jepang; Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) meliputi orang-orang Tionghoa, India, dan Arab; bumiputra (inlander) terdiri dari berbagai etnis lokal yang hidup di Kepulauan Hindia Timur.
Meski menduduki kelompok sosial kelas atas, mereka tetap mendapat pembatasan dan diskriminasi dari orang Eropa tulen. Indo dipandang berbeda karena biasanya memiliki warna kulit yang lebih gelap daripada Eropa tulen dan lebih suka berbahasa Melayu.
Meski dipandang remeh dan mendapatkan diskriminasi oleh orang-orang Eropa totok, nyatanya nasib indo lebih mujur ketimbang pribumi dalam kelas-kelas sosial dalam catatan sejarah kolonial di Hindia Belanda.
Bagaimanapun, indo memiliki tempat yang lebih baik dan lebih layak jika dibandingkan dengan inlanders atau masyarakat pribumi. Meski sejak kecil ia mendapat perlakuan tak mengenakkan, orang indo bernasib lebih mujur ketimbang pribumi.
Sebut saja masalah pendidikan. Anak-anak indo masih mendapatkan privilege untuk bisa bersekolah di sekolah Belanda, meskipun kadang mereka kerap kali dirundung rekan sekolahnya. Mereka lebih mujur ketimbang pribumi melarat yang banyak di antaranya menjadi buta huruf.
Selebihnya, ketika mereka dewasa, banyak anak-anak indo yang mewarisi jabatan hingga perusahaan yang ditinggali ayah Belandanya. Apabila ayahnya pernah menjabat di pemerintahan, anak-anak indo punya kesempatan yang lebih besar untuk turut dalam pemerintahan kolonial ketika sudah memasuki usia kerja.
"Minimal menjadi ambtenaar (pegawai negeri Hindia Belanda)," sambung Warin Darsono dalam penyampaiannya pada forum yang digelar di Ruang Seminar Gedung FIB UNS kemarin.
"Setidak-tidaknya dalam pemerintahan kolonial, indo akan mendapatkan tempat khusus di pemerintahan. Umumnya menjadi ambtenaar atau administratuer di perusahaan-perusahaan Eropa di Jawa atau Hindia Belanda," lanjutnya.
Lebih-lebih, Warin menambahkan bahwa orang-orang indo juga memiliki jaringan kerja yang tidak biasa, bahkan bisa memiliki kekayaan yang tak terhingga karena mewarisi konglomerasi orang tua mereka. Meskipun tidak semuanya menjadi konglomerat.
Seperti halnya Dezentje yang merupakan jaringan pengusaha perkebunan teh yang kaya di sepanjang Vorstenlanden atau Don Griot, pengusaha-pengusaha.
Moyang dari Warin Darsono adalah indo yang merupakan pengusaha perkebunan kaya raya di kawasan Vorstenlanden (sekarang Klaten). Meskipun warisannya hilang pasca Jepang merebut seluruh asetnya.
Source | : | Diskusi Sejarah FIB UNS & MSI (2023) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR