Saking rasisnya, setelah tahun 1850-an pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan sebuah peraturan Reegering Reglement jo Indische Staatsregeling, tentang penggolongan penduduk Hindia Belanda berdasarkan ras.
Penggolongan atas ras tersebut terbagi dalam tiga kelompok besar: Eropa (Europeanen) yang meliputi orang-orang Eropa, indo dan Jepang; Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) meliputi orang-orang Tionghoa, India, dan Arab; bumiputra (inlander) terdiri dari berbagai etnis lokal yang hidup di Kepulauan Hindia Timur.
Meski menduduki kelompok sosial kelas atas, mereka tetap mendapat pembatasan dan diskriminasi dari orang Eropa tulen. Indo dipandang berbeda karena biasanya memiliki warna kulit yang lebih gelap daripada Eropa tulen dan lebih suka berbahasa Melayu.
Meski dipandang remeh dan mendapatkan diskriminasi oleh orang-orang Eropa totok, nyatanya nasib indo lebih mujur ketimbang pribumi dalam kelas-kelas sosial dalam catatan sejarah kolonial di Hindia Belanda.
Bagaimanapun, indo memiliki tempat yang lebih baik dan lebih layak jika dibandingkan dengan inlanders atau masyarakat pribumi. Meski sejak kecil ia mendapat perlakuan tak mengenakkan, orang indo bernasib lebih mujur ketimbang pribumi.
Sebut saja masalah pendidikan. Anak-anak indo masih mendapatkan privilege untuk bisa bersekolah di sekolah Belanda, meskipun kadang mereka kerap kali dirundung rekan sekolahnya. Mereka lebih mujur ketimbang pribumi melarat yang banyak di antaranya menjadi buta huruf.
Selebihnya, ketika mereka dewasa, banyak anak-anak indo yang mewarisi jabatan hingga perusahaan yang ditinggali ayah Belandanya. Apabila ayahnya pernah menjabat di pemerintahan, anak-anak indo punya kesempatan yang lebih besar untuk turut dalam pemerintahan kolonial ketika sudah memasuki usia kerja.
"Minimal menjadi ambtenaar (pegawai negeri Hindia Belanda)," sambung Warin Darsono dalam penyampaiannya pada forum yang digelar di Ruang Seminar Gedung FIB UNS kemarin.
"Setidak-tidaknya dalam pemerintahan kolonial, indo akan mendapatkan tempat khusus di pemerintahan. Umumnya menjadi ambtenaar atau administratuer di perusahaan-perusahaan Eropa di Jawa atau Hindia Belanda," lanjutnya.
Lebih-lebih, Warin menambahkan bahwa orang-orang indo juga memiliki jaringan kerja yang tidak biasa, bahkan bisa memiliki kekayaan yang tak terhingga karena mewarisi konglomerasi orang tua mereka. Meskipun tidak semuanya menjadi konglomerat.
Seperti halnya Dezentje yang merupakan jaringan pengusaha perkebunan teh yang kaya di sepanjang Vorstenlanden atau Don Griot, pengusaha-pengusaha.
Moyang dari Warin Darsono adalah indo yang merupakan pengusaha perkebunan kaya raya di kawasan Vorstenlanden (sekarang Klaten). Meskipun warisannya hilang pasca Jepang merebut seluruh asetnya.
Sudut Pandang Baru Peluang Bumi, Pameran Foto dan Infografis National Geographic Indonesia di JILF 2024
Source | : | Diskusi Sejarah FIB UNS & MSI (2023) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR