Mansa Musa I kemudian membangun Masjid Djinguereber. Dia membayar cendekiawan Islam terkenal Abu Ishaq Al Saheli sebesar 200 kilogram emas untuk mengawasi pembangunannya.
Kemudian pada abad ke-15, ketika penguasa Tuareg Akil Akamalwa berkuasa di Kekaisaran Mali, ia membangun masjid besar Sidi Yahya. Ketiga pusat pembelajaran atau madrasah ini masih berfungsi hingga saat ini sebagai Koranic Sankore University, menjadikannya fasilitas pendidikan tinggi tertua di Afrika Sub-Sahara.
Masjid dan sekolah menjamur di Timbuktu, serupa dengan apa yang ditemukan di kota-kota Islam lain yang berkembang pesat di Kairo dan Mekkah. Dalam makalah studi bertajuk "African Bibliophiles: Books and Libraries in Medieval Timbuktu" seorang pustakawan California State University, San Bernardino (CSUSB) bernama Brent D. Singleton pernah membahas soal Timbuktu.
Singleton menulis bahwa “di Timbuktu, literasi dan buku melampaui nilai ilmiah dan melambangkan kekayaan, kekuasaan, dan baraka (berkah)." Dia juga menulis bahwa di Timbuktu, perolehan buku secara khusus “lebih sering disebutkan dibandingkan pameran kekayaan lainnya.”
Pengetahuan yang terkandung dalam buku-buku tersebut mencerminkan struktur masyarakat Mali. Abdel Kader Haidara, seorang sarjana Mali yang mengawasi pelestarian lebih dari 350.000 manuskrip dari era ini, mengatakan bahwa “selain literatur akademis dan ilmiah, ada banyak bagian yang berisi puisi dan dedikasi terhadap perempuan.”
Haidara menambahkan bahwa perempuan memiliki peran penting dalam menjaga warisan Mali. Perempuan berkontribusi pada upaya pelestarian naskah kuno.
Timbuktu juga unik dari kota-kota besar Islam lainnya pada Zaman Keemasan Islam. Misalnya, meski Kairo dan Mekkah mempertahankan kebijakan akses terbuka terhadap perpustakaan masjid, perpustakaan-perpustakaan di Timbuktu tampaknya merupakan koleksi pribadi para ulama atau keluarga, menurut Singleton.
Pengetahuan Diwariskan Melalui Buku dan Sejarah Lisan
Tak heran jika buku di Timbuktu menjadi harta berharga yang diwariskan dari generasi ke generasi. Praktik ini mencerminkan tradisi sejarah lisan Afrika Barat yang diwariskan oleh para griot, musisi, dan pendongeng ternama Afrika Barat yang merupakan penjaga sejarah kekaisaran dan keluarga kerajaan.
Griot berasal dari kelompok etnis Mandinka yang sama dengan asal Sundiata dan bertanggung jawab menyusun epiknya. Peran seorang griot hanya diturunkan melalui garis keturunan dan diperoleh melalui magang yang ekstensif.
Griot terus berlatih hingga saat ini. Mereka termasuk musisi Mali seperti pemain kora Toumani Diabaté, yang dapat menelusuri silsilah griotnya hingga Zaman Keemasan Islam.
Kekaisaran Mali mengalami kemunduran pada abad ke-15 dan digantikan oleh Kekaisaran Songhai. Askia Muhammad, seorang pemimpin militer dari Kota Gao di Mali, memerintah dari tahun 1492 dan 1528 dan memperkuat tradisi pembelajaran Islam di Timbuktu yang telah ditetapkan oleh para pendahulunya.
Source | : | History.com |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR