Nationalgeographic.co.id—Indonesia memiliki khazanah cerita mitos dan legenda yang melimpah mengenai alam semesta dan isinya. Mitologi pesisir di berbagai wilayah di Indonesia, misalnya, mempunyai pandangan khusus terhadap keberadaan laut.
Yoseph Yapi Taum, seorang dosen Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, pernah membuat ulasan mengenai berbagai mitologi pesisir di Indonesia mengenai laut dalam suatu atikel di Pusat, sebuah majalah sastra.
Menurutnya, jika kita ingin mengkaji dan mengungkapkan bagaimana "laut" diimajinasikan dalam kesadaran kolektif bangsa kita, pertama-tama perlu kita kaitkan dengan konsep tanah air.
"Bangsa Indonesia menyebut tanah air sebagai 'ibu pertiwi.' Dalam imaginasi bangsa Indonesia, laut pun merupakan 'ibu' dengan segala kelembutan, kasih sayang, dan pemberi kehidupan (lihat Sunindyo, 1998)," tulis Yoseph.
Hal ini berbeda, misalnya, dalam sebagian besar bangsa Barat yang memandang tanah airnya sebagai "ayah" (fatherland), tanah kaum laki-laki. Dalam pandangan berbagai etnis di Indonesia, laut pada umumnya dipandang sebagai "ibu".
"Berbeda dengan mitologi Hindu yang memandang laut sebagai laki-laki (Dewa Waruna), di lndonesia (seperti di Mesir) bahureksa laut mendapat bentuk sosok perempuan," papar Yoseph. "Seperti halnya bumi, tanah, dan air, laut merupakan unsur pengandung - pelahir - dan penyusui kehidupan (lihat Setiawan, 1981)."
Masyarakat Pulau Buru selain mengenal Ina Kabuki, ratu yang bertakhta di dasar Teluk Kayeli, juga mempunyai tokoh Boki Ronja[ng), 'pamali' atau bahureksa sungai Wai Apu. Bentuk feminin ini barangkali juga karena, di hadapan langit, laut terletak di bawah.
Dari dunia pedalangan sering kita dengar kata-kata, diucapkan terhadap tokoh yang akan dikenai senjata pamungkas: "tumengaa Bapa Angkasa, tumungkula Babu Pertiwi" ftengadahlah Pada BaPa Langit, dan tunduklah Pada Ibu Bumi"). Gagasan Pemikiran demikian, bahwa "bapa" [laki laki) adalah langit, dan "ibu" (perempuanJ adalah bumi, sesuai dengan konsep susunan bangunan lingga dan yoni.
Masyarakat nelayan Lamalera menyebut laut sebagai Ina Fae Bele. Dalam bahasa Lamaholot, "Ina Fae" berasal dari kata "Kefae" atau "Kfae". Dalam bahasa Lamaholot, "Kewae/Kwae" berarti "Istri". Adapun "Bele" artinya "Ibunda yang maharahim".
Masyarakat Lamalera selama berabad-abad hidup dari hasil laut, terutama berburu ikan dan paus. Laut memiliki peran amat sentral dalam kehidupan orang Lamalera. Laut dengan demikian memiliki beberapa julukan atau sapaan.
Dalam sastra laut Lamalera, selain Ina Fae Bele, Laut juga disebut sebagai Sedo Basa Hari Lolo, ibunda yang maharahim, mahapengasih, bunda yang senantiasa mengandung, melahirkan, membesarkan memelihara anak-anaknya dengan menyediakan semua yang anak-anaknya membutuhkan.
Dalam nyanyian-nyanyian memanggil angin dan ungkapan-ungkapan adat ketika menangkap paus, pari, hiu, dan lain-lain, laut disebut dengan berbagai nama: Ina Lefa (Bunda Lautan), Ina Soro Budi (lbu yang memberi hatinya kepada anak-anaknya).
Lalu apa makna simbol laut sebagai wanita? Ada dua kemungkinan. Pertama, dalam konsep masyarakat di luar Pulau Jawa, perempuan dipahami sebagai pemberi dan pelindung kehidupan. Wanita lebih dimaknai sebagai manusia yang lembut dan penuh kasih.
Itulah sebabnya banyak sekali suku-suku bangsa di luar Jawa yang menjadi pelaut ulung (dengan kapal pinisi) dan bahkan ada suku laut yang dikenal sebagai gipsi laut seperti suku Bajo di Sulawesi Selatan. Laut fuga dipahami sebagai ibu yang memberi kehidupan, seperti terlihat jelas dalam legenda Bau Nyale masyarakat suku Sasak.
Kedua, dalam konseps Jawa, perempuan dipahami sebagai cakti yang dilukiskan sebagai mahahebat dan selalu dilukiskan sebagai sesuatu yang "mengerikan". Perhatikan misalnya Sarpakendka, Durga, dan Calon Arang [Setiawan, 1981).
Jika perempuan dipahami dalam konsep ini, laut memiliki makna yang menakutkan. Orang menjadi takut untuk melaut. Akan tetapi, penting diperhatikan bahwa konsep Penguasa Laut Selatan muncul pada masa Mataram Senapati. Konsep gender ini sangat kuat, dengan perempuan dipandang sebagai kekuatan pengayom.
"Konsep ini berbalik linea recta di zaman rezim militer Orde Baru Suharto, ketika (tubuh) perempuan dia pakai sebagai wahana dan sarana untuk menghancurkan gerakan kiri khususnya dan gerakan rakyat umumnya," tulis Yoseph.
Pada akhirnya, dari berbagai mitologi pesisir di Indonesia, kita basa melihat bahwa laut biasa dilukiskan perempuan atau ibu. Sebagai sesuatu yang mengayomi dan pemberi kehidupan (dengan ikan, rumput laut, dan berbagai sumber daya lain yang melimpah), sekaligus sesuatu yang menakutkan (dengan potensi tsunami, ombak, banjir rob, badai, dan sebagainya).
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR