Itulah sebabnya banyak sekali suku-suku bangsa di luar Jawa yang menjadi pelaut ulung (dengan kapal pinisi) dan bahkan ada suku laut yang dikenal sebagai gipsi laut seperti suku Bajo di Sulawesi Selatan. Laut fuga dipahami sebagai ibu yang memberi kehidupan, seperti terlihat jelas dalam legenda Bau Nyale masyarakat suku Sasak.
Kedua, dalam konseps Jawa, perempuan dipahami sebagai cakti yang dilukiskan sebagai mahahebat dan selalu dilukiskan sebagai sesuatu yang "mengerikan". Perhatikan misalnya Sarpakendka, Durga, dan Calon Arang [Setiawan, 1981).
Jika perempuan dipahami dalam konsep ini, laut memiliki makna yang menakutkan. Orang menjadi takut untuk melaut. Akan tetapi, penting diperhatikan bahwa konsep Penguasa Laut Selatan muncul pada masa Mataram Senapati. Konsep gender ini sangat kuat, dengan perempuan dipandang sebagai kekuatan pengayom.
"Konsep ini berbalik linea recta di zaman rezim militer Orde Baru Suharto, ketika (tubuh) perempuan dia pakai sebagai wahana dan sarana untuk menghancurkan gerakan kiri khususnya dan gerakan rakyat umumnya," tulis Yoseph.
Pada akhirnya, dari berbagai mitologi pesisir di Indonesia, kita basa melihat bahwa laut biasa dilukiskan perempuan atau ibu. Sebagai sesuatu yang mengayomi dan pemberi kehidupan (dengan ikan, rumput laut, dan berbagai sumber daya lain yang melimpah), sekaligus sesuatu yang menakutkan (dengan potensi tsunami, ombak, banjir rob, badai, dan sebagainya).
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR