Kekaisaran Bizantium juga sering menambahkan tiang penyangga (mulai abad ke-4 M dan seterusnya) di atas ibu kota itu sendiri.
Penyangga itu adalah batu polos yang memberikan dasar yang lebih besar yang diperlukan untuk mendukung lengkungan berat. Penyangga biasanya berbentuk trapesium dan memiliki monogram atau salib yang diukir di atasnya.
Sebagian besar gereja mula-mula mengikuti desain basilika Romawi, sebuah bangunan yang digunakan untuk pertemuan publik. Terutama pengadilan dan pasar.
Aula panjang basilika dan atap kayu ditopang oleh tiang dan dermaga di semua sisinya. Kolom-kolom tersebut menciptakan bagian tengah yang diapit di semua sisinya oleh sebuah lorong.
Sebuah galeri mengelilingi lantai pertama, dan kemudian ada apsis di salah satu atau kedua ujungnya. Sejak abad ke-5 M, gereja basilika menjadi hal yang umum di seluruh Kekaisaran Bizantium.
Pada abad ke-6 M, atap kayu standar telah digantikan oleh atap berkubah di basilika yang lebih besar. Ada banyak variasi dalam desain basilika yang dikembangkan.
Basilika bisa memiliki tiga, empat, atau lima lorong, beberapa memiliki interior yang jauh lebih gelap. Seperti yang ada di Armenia sementara yang lain di Suriah jauh lebih monumental dan menggunakan balok batu besar.
Beberapa ratus basilika dibangun di seluruh kekaisaran Bizantium, dengan salah satu yang terbesar berada di Lechaion dekat Korintus.
Di sana basilika Santo Leonidas memiliki panjang 110 meter (360 kaki) dan lebar 30 meter (99 kaki). Salah satu basilika terbaik yang masih ada adalah Gereja Saint Irene di Istanbul (pertengahan abad ke-6 M dan direnovasi pada abad ke-8 M).
Pada abad ke-9 M, gereja-gereja masih dibangun dalam jumlah besar tetapi dalam skala yang lebih kecil. Itu seiring berkurangnya populasi perkotaan dan basilika besar tidak lagi diperlukan. Selanjutnya sebuah gereja hanya perlu menampung sekitar 100 jamaah.
Tidak ada cetak biru gereja resmi yang ditetapkan oleh hierarki gereja Kristen Ortodoks, namun denah persegi menjadi yang paling umum.
Source | : | World History Encyclopedia |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR