Nationalgeographic.co.id—Di suatu malam, Anda berjalan menuju sebuah rumah misterius. Saat Anda membuka pintu, orang-orang berjenggot sedang membungkuk di depan buku-buku tebal dan gelas kimia yang berasap. Mungkin Anda akan langsung menyimpulkan bahwa mereka adalah Alkimia.
Bekat cerita-cerita dalam budaya populer, kita mengingat disiplin alkimia pada abad pertengahan bukan sebagai ilmu pengetahuan tetapi sebagai bentuk sihir. Persepsi ini tidak hanya dimiliki oleh budaya populer, tetapi juga di kalangan akademis.
“Hingga saat ini, kepercayaan dominan di kalangan cendekiawan abad pertengahan adalah bahwa alkimia harus dihitung di antara banyak kepercayaan takhayul yang membuat Abad Kegelapan tetap gelap sampai Revolusi Ilmiah datang,” tulis Tim Brinkhof, pada laman Big Think.
Namun, dalam penelitian terbaru mengungkapkan bahwa alkimia merupakan proses yang jauh lebih rasional dan metodis daripada yang kita duga sebelumnya.
“Alih-alih memperpanjang Abad Kegelapan, alkimia justru mempercepat perkembangan pemikiran ilmiah, studi empiris, dan Revolusi Ilmiah secara keseluruhan,” imbuh Brinkhof.
Secara khusus, obsesi alkimia terhadap "transmutasi” merupakan upaya awal manusia untuk memahami logika di balik reaksi kimia. Dengan kata lain, tanpa alkimia, ilmu kimia mungkin tidak akan seperti sekarang ini.
Sejarah Alkimia Abad Pertengahan
Meskipun terkait erat dengan Eropa Abad Pertengahan, asal mula alkimia jauh dari itu. Alkimia dimulai di Alexandria, sebuah kota metropolitan kuno yang terletak di Mesir modern. Mereka hadir dengan menggabungkan filosofi Aristoteles dengan pemikiran agama dan astronomi dari timur.
Alkimia dapat didefinisikan secara general sebagai upaya untuk menciptakan benda-benda secara artifisial, termasuk logam mulia seperti perak dan emas, serta kehidupan–tepatnya kehidupan manusia.
Melalui sebuah gagasan dari Yunani, para alkemis mencoba membuat emas dengan melarutkan logam-logam lain ke dalam komponen kimianya.
Gagasan tersebut menyatakan bahwa material terdiri dari elemen-elemen yang berlawanan serta dapat diatur dalam sebuah hirarki dari dasar hingga murni. Namun, alih-alih emas, para alkemi malah menghasilkan alkohol dan asam.
Brinkhof menjelaskan, ketika para alkemis tidak mencoba memproduksi emas, mereka mencoba menciptakan homunculi: manusia yang kecil, terbentuk sempurna, dan berfungsi.
Sebuah teks yang disebut Book of the Cow, yang menurut beberapa orang ditulis oleh Plato, menyerukan agar seekor sapi betina disuntik dengan sperma manusia. Menurut buku tersebut, hewan itu tidak akan melahirkan manusia, tetapi sebuah massa tak berbentuk.
“Kontak dengan sulfat, magnet, besi, dan getah pohon willow putih akan memungkinkan massa tersebut untuk mulai menumbuhkan kulit, setelah itu harus ditempatkan di dalam wadah kaca, di mana ia akan berkembang menjadi manusia,” jelas Brinkhof.
Menemukan Sains dalam Ilmu Sihir
Sebagian besar proses alkimia didasarkan pada ide-ide yang sudah ketinggalan zaman dan tidak ilmiah. Transmutasi, seperti yang telah disebutkan, berakar pada keyakinan bahwa “alam berusaha untuk mencapai kesempurnaan dan Anda dapat mengubah logam dasar menjadi emas dengan menyuling dan memurnikannya.”
Namun, menjelang akhir Abad Pertengahan, eksperimen alkimia membantu memberi jalan bagi teori ilmiah yang lebih sehat.
Seperti yang ditunjukkan oleh sejarawan Bruce T. Moran dalam bukunya “Distilling Knowledge”. Ia menyatakan bahwa alkimia mengilhami perumusan hukum gravitasi universal Isaac Newton.
Newton, tulis Moran, "mengadopsi gagasan alkimia tentang prinsip-prinsip aktif yang menjelaskan daya tarik-menarik antar benda."
Sebagai seorang yang sangat religius, Newton menyamakan alkimia dengan pengetahuan ilahi. Menurutnya, Tuhan telah memberikan pengetahuan kepada umat manusia melalui para alkemis.
Salah satu orang sezaman dengan Newton, Robert Boyle, juga berhutang budi pada para alkemis abad pertengahan yang mendahuluinya.
Teori "corpuscularian" Boyle, yang menyatakan bahwa materi terdiri dari partikel-partikel, dapat ditelusuri kembali ke salah satu alkemis paling awal, Jabir Ibnu Hayyan.
Lebih jauh lagi, Boyle berpendapat bahwa materi dapat ditransmutasi jika kita menemukan cara untuk mengatur ulang partikel-partikelnya.
Argumennya diuji pada tahun 1919 oleh Ernest Rutherford, yang menjadi orang pertama yang melakukan reaksi nuklir dengan memisahkan nitrogen menjadi atom hidrogen dan oksigen.
Dari Transmutasi hingga Metalurgi
Dari transmutasi hingga metalurgi–seperti mengubah logam menjadi emas atau menumbuhkan manusia kecil di dalam gelas–merupakan kegiatan fantastis yang bahkan tidak dapat dicapai oleh sains modern.
Tujuan lainnya lebih realistis dan praktis, yang mengarah pada pengembangan pewarna, kosmetik, dan metalurgi.
Menurut Brinkhof, mirip dengan ilmuwan masa kini, alkemis abad pertengahan membentuk hipotesis dan kemudian melakukan eksperimen. Mereka mencoba membuktikan apakah hipotesis tersebut benar.
“Proses mereka mungkin tidak sesempurna atau sekonsisten proses kita, tapi pendekatan yang mendasarinya serupa,” kata Brinkhof.
Alih-alih menunda kemunculan ilmu pengetahuan, alkimia seharusnya dilihat sebagai pendahulu sejarah biologi, kimia, dan bahkan fisika.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR