Nationalgeographic.co.id — Pagelaran Opera Majapahit: Gitarja, Sang Sri Tribhuwana akan diiringi oleh alat musik tradisional Nusantara yang kini sedang terancam punah alias nyaris hilang. Alat musik tersebut dipakai dalam lantunan musik orkestra yang digubah oleh Franki Raden bersama Indonesian National Orchestra.
Franki Raden adalah seorang penata musik senior yang sudah dua kali meraih Piala Citra untuk kategori Penata Musik Terbaik. Dia juga dikenal sebagai pencinta alat-alat musik tradisi Nusantara.
Untuk membuat musik pengiring opera ini, Franki melibatkan belasan pemain alat musik tradisional Nusantara dan menyatukannya di dalam Indonesian National Orchestra. Uniknya, masing-masing pemain ini mampu memainkan tiga sampai lima alat musik tradisional yang berbeda.
"Jadi totalnya bisa sampai lima puluh alat musik [yang terlibat]," ujar Franki di acara konferensi pers di Jakarta, Senin, 4 Desember 2023, menjelang pementasan Opera Majapahit: Gitarja, Sang Sri Tribhuwana.
"Sebagai contoh rebana. Rebana itu saya ambil dari Betawi. Nah rebana itu aja jenisnya ada macam-macam. Yang saya pakai di sini ada rebana biang. Itu rebana yang sakral kalau di Betawi dan hampir hilang. Saya sengaja juga untuk mengangkat alat-alat musik yang sudah hampir hilang. Karena buat saya itu penting," tegas Franki.
Di samping rebana biang yang kini terancam punah, ada beberapa jenis rebana lainnya yang juga digunakan Franki dan tim. "Selain rebana biang, terus ada rebana kecimpring yang lebih kecil. Ada yang namanya marawis lebih kecil lagi. Itu saja satu orang sudah memainkan tiga alat musik. Dan itu baru rebana aja," paparnya.
"Nah yang dari Sunda. Itu pemain saya tuh main alat tarompet, main suling, main rebab. Itu yang istilahnya nature-nya beda sekali alat-alat itu, tapi mereka bisa memainkan sama baiknya," imbuhnya.
Selain memakai alat-alam musik dari Pulau Jawa, Franki juga memakai alat musik dari Pulau Sulawesi, yakni kolintang. Ada alasan khusus memakai Franki suka menggunakan kolintang.
"Kenapa? Karena alat kolintang itu di-tune in-nya diatonis. Jadi saya untuk mengiringi lagu yang saya bikin dalam tangga nada diatonis itu sangat produktif. Itu juga kolintang ada macam-macam. Ada kolintang melodi, ada kolintang alto, ada beragam. Dia (pemain saya) bisa main semuanya tuh," jelasnya.
"Ada lagi pemain saya dari Sumatra, khususnya Sumatra Barat. Dia main alat serunai, dia juga main saluang," bebernya.
Dari Kepulauan Nusa Tenggara dan Bali ada alat-alat musik tradisional yang juga Franki gunakan. Alat-alat musik itu dari perangkat gamelan.
"Saya sendiri main gong. Gong itu sengaja semuanya tidak saya ambil dari Jawa. Karena gong kan umumnya dari Jawa. Enggak, saya ambil gong dari Sumba. Gong kecilnya tuh dari Sumba. Gong besarnya dari Jawa," kata Franki.
"Terus klonengnya dari Bali. Ceng-cengnya dari Bali. Bali juga banyak tuh alat musiknya. Jadi banyak sekali alat-alat yang kita manfaatkan sedemikian rupa."
Selain menggunakan alat-alat musik dari Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi, Franki juga mengadopsi unsur musik dari Kalimantan. "Saya enggak pakai alat Kalimantan, tapi mantra yang saya gunakan itu mantra Kalimantan. Jadi ada unsur-unsur vokal juga yang saya manfaatkan," ucapnya.
Dia juga menambahkan, "Dari NTT misalkan, itu juga saya enggak pakai alat sasando, tapi mantranya saya ambil juga dari sana. Jadi sangat beragam ya. Enggak cuma alat saja."
Tak hanya menggunakan alat-alat dan unsur-unsur musik tradisional dari Nusantara, Franki juga memakai alat musik tradisional dari negeri tetangga yang dulunya berkaitan erat dengan Nusantara.
"Bahkan saya on the way sampai ke Aborigin di Australia. Saya pakai alat didgeridoo. Karena bagi saya penting, didgeridoo punya hubungan dengan kita karena [dulu wilayah Indonesia bagian timur dan wilayah Australia] jadi satu," ucapnya.
Mia Johannes, sutradara Opera Majapahit ini, menceritakan ulang bagaimana dirinya berdiskusi dengan Franki untuk menyusun musik opera ini. "Kamu mau musik seperti apa?" tanya Franki. "Saya mau keluar suara Nusantara," jawab mhyajo, sapaan akrab Mia kala itu.
"Jadi ketika beliau berbicara tadi mengenai kolintang dan alat-alat musik lainnya yang unik dan diproduksikan, kita melepas alat-alat tersebut sebagai alat yang dimainkan fungsinya di kebiasaan pemusik-pemusik atau music director biasanya," ujar mhyajo.
"Jadi kolintang seorang Frenky Raden di Opera Majapahit ini tidak sebagai musik kolintang dari Sulawesi, tapi apa yang memang bisa dipersembahkan untuk karya ini. Jadi terlepas dari ethnicity, terlepas dari etnis," tegasnya.
Pendek kata, seluruh bunyi dari semua alat musik tradisional itu menyatu menjadi sebuah musik Nusantara yang utuh. Sebuah musik khusus untuk Opera Majapahit.
"Jadi fungsinya itu ditaruh di satu meja besar ya. Semua alat-alat musik Nusantara itu ditaruh di satu meja besar dan kita mengolahnya bersama. Itu yang terjadi saat lokakarya [untuk opera ini]," tutur mhyajo.
Dia dengan percaya diri mengatakan bahwa karya hasil kolaborasi antara dirinya dan Franki Raden ini bakal mengusik para penonton. "Bisa saya pastikan yang duduk di teater hari Kamis itu dia akan terganggu dengan apa yang kita tampilkan, baik secara visual maupun secara pendengaran dari Franki Raden," ujarnya.
Opera Majapahit: Gitarja, Sang Sri Tribhuwana ini bakal dipentaskan pada Kamis, 7 Desember 2023 di Gedung Kesenian Jakarta. Pementasan akan berlangsung selama 1,5 jam dan melibatkan 12 pelakon, 2 penyinden, dan 2 narator.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR