Nationalgeographic.co.id—Lokasinya yang berada di ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut, membuat udara di The Kaldera begitu sejuk. Kesejukannya pun didukung dengan pepohonan pinus dan hutan rindang di sekitarnya.
Di sinilah, para muda-mudi berwisata di hari Minggu, satu-satunya hari libur dalam sepekan di Sumatra Utara. Meski demikian, tidak jarang tamu sudah berdatangan dari Sabtu siang dan menginap di kabin atau tenda glamping. Penyedia penginapan terbesar di sana adalah Bobocabin yang memiliki bentuk kabin unik, sehingga wisatawan dapat menginap dan sekaligus pengalaman berwisata yang berbeda.
Sebagai tempat berwisata, destinasi dengan nama lengkap The Kaldera Toba Nomadic Escape ini terbilang optimal. Tempat ini pula Presiden Joko Widodo dan istrinya berfoto dalam kunjungannya pada 2019.
Dari titik mereka berfoto, menyajikan pemandangan Danau Toba dan Desa Wisata Sigapiton dari ketinggian. Hal ini membuat The Kaldera ramai dikunjungi dan banyak wisatawan ingin berfoto di lokasi yang sama.
Selain tersedia penginapan dan restoran, tempat ini merupakan kantor bagi Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) untuk mengelola pariwisata Danau Toba. Namun, hubungan antara The Kaldera dan Desa Sigapiton yang ada di bawahnya cukup rumit. Penyebabnya, kedua belah pihak sempat berselisih dalam pengembangan Danau Toba sebagai Wisata Prioritas.
Dalam perjalanan Trail of the Kings yang diadakan oleh National Geographic Indonesia, kami berkunjung kedua tempat untuk menjadi penengah. Baik The Kaldera dan Desa Wisata Sigapiton, memiliki keinginan kuat untuk mengembangkan pariwisata di sekitar mereka.
Perjalanan kami bermula dari The Kaldera yang kemudian dilanjutkan dengan menurun lembah berjalan kaki sekitar 3,6 kilometer menuju Desa Wisata Sigapiton. Butuh waktu sekitar 40 menit sampai akhirnya kami tiba di dermaga desa.
Dalam perjalanan, Mahendratta Sambodho, atau yang biasa disapa sebagai Dodot, mengulas jalur yang dilalui, "Jalur ini bagus buat olahraga trekking, lari, atau bahkan maraton. Wisatawan pasti suka." Jalan ini sudah dibentuk 10 tahun yang lalu.
Dodot merupakan rekan kami dalam perjalanan ini yang bertugas sebagai Konsultan Pembuatan Standar Operasi dan Prosedur dan Paket Wisata.
Desa Sigapiton, potensi wisata yang terlewatkan
Setibanya di bawah, kami disambut dengan berbagai aktivitas pertanian Desa Sigapiton: para petani menuju kebun, pengembala sibuk mengatur angsa dan kerbaunya, anak-anak yang sedang asyik bermain, dan beberapa warga yang pulang dari ibadah di gereja.
"Ini tamu bakal senang banget sama wisata pertanian begini. Agrowisata," ulas Dodot. "Orang kota itu kangen suasana kampung yang bisa mengelola sawah dan kebun. Potensi wisatanya gede banget, sebenarnya di sini."
Hasil bumi di Sigapiton, selain padi, adalah jagung, kopi arabika, mangga, cokelat, dan bawang. Warga biasanya menjual hasil tersebut ke pusat kecamatan di Ajibata.
Richard Manurung, salah seorang warga yang bertugas sebagai Kepala Seksi Pelayanan Desa Sigapiton mengungkapkan bahwa desa ini sebenarnya sudah ditunjuk sebagai desa wisata tahun 2020 berbasis pertanian.
"Ada acara tanam padi satu tahun sekali yang diadakan warga kalau sudah masuk musim tanam," kata Manurung. "Ada juga sanggar tari, pesertanya orang sini. Mereka yang biasa mengisi [pentas tari] di Kaldera."
Masyarakat juga telah menyediakan 16 homestay yang terletak di tiga dusun. Rata-rata harga sangat terjangkau bagi wisatawan, sekitar Rp250 ribu per malam yang biasanya setiap rumah diisi dengan tiga orang. Harga tersebut pun sudah termasuk sarapan yang disediakan pemilik rumah.
Ada pula aktivitas wisata akuatik yang dapat dilakukan di Desa Sigapiton. "Ada kayak yang bisa disewa. Mungkin menarik bagi pengunjung bang," kata Manurung. "Sekarang, kayak dan perahu-perahu kecil itu ditarik karena tidak ada kunjungan. Jadi buat apa?"
Kami pun berkeliling melihat beberapa homestay. Penginapan mereka terhitung bagus dan nyaman untuk diinapi wisatawan. Dalam kunjungan kami, tiba-tiba warga menyambut kami dengan iringan musik khas Batak lawas.
Dari kunjungan ini membuktikan bahwa Sigapiton punya potensi untuk kegiatan wisata. Setiap bulannya, mereka juga menerima tamu dengan jumlah kelompok kecil yang kurang begitu menghasilkan bagi pemasukan desa.
The Kaldera dan Sigapiton
Manurung menerangkan, aktivitas pariwisata masih sangat kurang karena penunjangnya belum ada dan masyarakat belum menggiatkannya secara maksimal. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Sigapiton juga belum begitu aktif dalam upaya peningkatan destinasi dan aktivitas wisata.
"Kalau menurut gua, Sigapiton itu justru memiliki posisi yang potensial untuk dikembangkan sebagai destinasi," kata Irwan Tamrin, akademisi Magister Pariwisata Berkelanjutan Universitas Padjadjaran yang juga rekan National Geographic Indonesia dalam perjalanan Trail of the Kings.
"Posisinya yang berada di lembah berada di bawah terpidana ya menurut gue itu itu posisi yang bagus."
Oleh karena itu, terang Irwan, The Kaldera yang memiliki fasilitas dan menjadi pusat pariwisata Danau Toba perlu mengembangkan Desa Sigapiton yang ada di dekatnya.
Manurung menjelaskan, BPODT sering mengadakan pelatihan untuk menghidupkan kegiatan pariwisata di sini. Namun, pengetahuan itu tidak bisa menyeluruh tanpa adanya pendampingan yang berkelanjutan.
"Posisinya dia sebagai buffer zone dari Kaldera. Artinya, The Kaldera Toba ini harus melihat Sigapiton sebagai bagian dari ekosistem pariwisatanya. Dia (Kaldera), karena pada akhirnya, wisatawan enggak bisa disajikan dengan wisata kekinian yang disuguhkan dengan daya tarik wisata yang ada [di tempatnya sendiri]," Irwan menjelaskan.
Lebih lanjut, Irwan menyayangkan kondisi The Kaldera yang begitu ramai setiap minggunya. Kondisinya berbeda dengan Desa Sigapiton yang sepi kunjungan. Oleh karena itu, The Kaldera dan BPODT seharusnya mempromosikan aktivitas di desa kepada wisatawan.
Dengan demikian, masyarakat Sigapiton juga merasa terlibat dan merasa bahwa pariwisata Danau Toba punya dampak kepada kehidupan mereka.
"Mungkin skeptis dari masyarakat Sigapiton terhadap Kaldera yang ada menjadi tantangan," terang Irwan. "Kalau gue melihat dan berbicara ke teman-teman dekat daerah, karena mereka memposisikan diri seperti itu. Jadi, sebenarnya Sigapiton butuh Kaldera, padahal Kaldera juga butuh Sigapiton."
"Supaya bisa bahu-membahu, mungkin diperlukan pihak tengah, atau pendampingan atau yang diperlukan untuk kemungkinan bisa masuk aktivitas wisata yang menunjang di Sigapiton dari Kaldera. Pihak tengah ini adalah pembuka jalan yang membuat Sigapiton butuh Kaldera, dan Kaldera butuh Sigapiton."
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR