Nationalgeographic.co.id—Seluruh masyarakat tradisional di Indonesia memiliki kepercayaan lokalnya masing-masing. Beberapa di antara kepercayaan tersebut meyakini adanya dewa-dewi yang terpengaruh dari agama Hindu dari India.
Sosok yang sangat signifikan dalam mitologi Nusantara adalah Batara Guru. Nama Batara guru diyakini diambil dari bahasa Sanskerta sebagai batara yang berarti gelar paling mulia, dan sandangan guru yang biasa diartikan sebagai pengajar.
Menariknya, sosok ini tidak hanya muncul dalam kepercayaan Hindu Indonesia. Batara Guru disebutkan dalam cerita mitologi masyarakat Batak, Jawa, dan Bugis. Secara sifat, ketiga kebudayaan yang terpisah menyebutkan sosoknya yang bijak dan menjadi awal kehidupan manusia.
Dalam Mitologi Batak
Jan J. Damanik dalam buku Dari Ilahi Menuju Allah menyebutkan, Batara Guru sebagai salah satu dari Debata Natolu (Dewata Tritunggal). Batara Guru menguasai dunia atas yang disebut sebagai Banua Ginjang. Sedangkan dua saudara lainnya menguasai Debata Soripada dan Debata Mangala Bulan.
Mereka semua adalah keturunan dari Debata Mulajadi Nabolon yang merupakan Tuhan yang Maha Esa. Kepada Batara Guru, Mulajadi Nabolon menganugerahinya dengan sifat yang bijak sana, berkuasa atas tatanan kehidupan dan kuasa manusia, serta menentukan takdir dan nasib umat manusia.
Batara Guru dalam mitologi Batak pun dicitrakan sebagai hakim yang adil dan penjaga ketertiban. Sepanjang riwayatnya ia berkedudukan di Banjar Dolok atau sebuah negeri yang berada di gunung. Digambarkan, ia memiliki kuda hitam yang suci.
Menurut mitologi Batak, Batara Guru menikahi dewi Siboru Porti Bulan. Pernikahan itu menghasilkan beberapa keturunan. Salah satunya adalah putri bernama Siboru Deak Parujar.
Dalam cerita mitologi Batak, Siboru Deak Parujar menikah dengan Siraja Odapodap yang berasal dari Dunia Bawah (Banua Tonga). Ketika datang, ke dunia atas ia berwujud seperti kadal yang disebut sebagai Naga Padoha.
Dari pernikahan keduanya inilah lahirlah leluhur manusia yang dalam beberapa generasi menjadi Siraja Batak, nenek moyang orang Batak di pedalaman Sumatra Utara.
Sosok Batara Guru dalam mitologi Jawa lebih populer karena ceritanya dipentaskan dalam ragam bentuk, seperti wayang. Batara Guru juga muncul dalam cerita Jawa yang lebih modern seperti pementasan Punakawan (cerita tentang Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong) yang ditayangkan di televisi nasional.
Dalam pewayangan, Batara Guru memiliki rupa dengan mulut yang bergantian, mata lebar, hidung mancung, dan bagian bokongnya yang ditutupi kain megah. Dia juga memiliki mahkota yang memiliki rupa Garuda. Fisiknya memiliki empat tangan yang sepasang berpangku tangan dan yang lainnya dapat digerakkan oleh dalang.
Berbeda dengan mitologi Batak yang hanya menguasai tiga dunia, Batara Guru dalam mitologi Jawa menguasai tiga dunia, yakni Mayapada (dunia atas para dewa), Madyapada (dunia tengah tempat manusia), dan Arcapada (dunia bawah atau neraka).
Batara Guru dalam mitologi Jawa identik dengan kepercayaan Hindu, sebagai perwujudan atau avatar dari dewa Siwa. Dalam kepercayaan Hindu, Siwa merupakan salah satu dewa dari Trimurti yang sejajar dengan Brahma dan Wisnu--manifestasi dari Sang Brahman (Tuhan).
Mitologi Jawa menyebutkan asal-usul Batara Guru memiliki nama lain sebagai Sang Hyang Manikmaya. Dia adalah anak dari Sang Hyang Tunggal yang kawin dengan Dewi Rekatawati.
Dari pernikahan itu, selain Batara Guru, Dewi Rekatawati melahirkan dua anak laki-laki lainnya, yakni Sang Hyang Antaga (Togog) dan Sang Hyang Ismaya (Semar). Togog dan Semar diutus untuk menjaga manusia. Keduanya dipimpin oleh Batara Guru yang terlahir dengan fisik sempurna.
Ahmad Hidayatullah dalam Reduksi Nilai-nilai Non-Tauhid dalam Konstruksi Wayang Karakter Batara Guru mengungkapkan, Batara Guru dicitrakan secara beda. Jika dalam kepercayaan Jawa yang dipengaruhi agama Hindu menyebut Batara Guru adalah perwujudan Siwa, lain halnya ketika penyebaran agama Islam berkembang.
Batara Guru, dewa Siwa, dan berbagai tokoh mitologi lainnya dihadirkan sebagai manusia. Para wali yang menyebarkan syiar lewat wayang menjadikan Batara Guru sebagai keturunan Nabi Adam dari anaknya yang bernama Sis (Seth).
Nama Batara Guru muncul dalam mahakarya orang Bugis, Sureq La Galigo atau I La Galigo. Disebutkan dalam mitologi Bugis, Batara Guru adalah gelar yang disandang oleh La Toge' Langi' yang akan menguasai bumi.
Batara Guru disebutkan sebagai putra dari Sang Patotqe dan Datu Palinge' yang diutus ke Bumi untuk membimbing umat manusia. Sebelum dia menjadi penguasa Bumi, dia diuji selama 40 hari dan 40 malam. Setelah berhasil, ia diturunkan di Ussu yang berada di Luwu Timur, tepatnya di Teluk Bone.
Shelly Errington, dalam Meaning and Power in a Southeast Asian Realm, mengungkapkan hal yang berbeda tentang Batara Guru oleh masyarakat Luwu. Disebutkan ia adalah sesuatu yang kuat, tidak berbentuk, dan gaib.
Batara Guru juga tidak bertanggung jawab atas tindakan manusia karena sifatnya yang abstrak (tanpa batas, pusat, ujung, dan tidak kosong). Namun, diyakini sebagai sosok yang sempurna.
Lebih lanjut, dalam mitologi Bugis dari I La Galigo, Batara Guru memiliki 11 keturunan dari satu permaisuri dan lima selir. Permaisurinya bernama We Nyili' Timo' yang melahirkan Batara Lattu'. Kelak, dalam bagian inti dari I La Galigo, Batara Lattu' melahirkan Sawerigading yang menjadi tokoh utama mitologi besar ini.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR