Banyak korban meninggal dalam waktu empat hingga tujuh hari setelah tertular penyakit tersebut. Ketika wabah terus menyebar ke seluruh Inggris, jumlah korban tewas mencapai 80 hingga 90 persen. Perkiraan kasarnya menyebutkan bahwa sekitar 25 juta orang di Eropa meninggal karena wabah dan sekitar 1000 desa hilang.
Ketika angka kematian meningkat dan krisis meningkat, Raja Henry VI dari Inggris tidak punya pilihan selain menyusun rencana untuk melindungi rakyatnya.
Ketakutan akan penularan selalu ada, dan pihak berwenang sangat ingin menerapkan langkah-langkah yang dapat mengekang penyebaran penyakit ini.
Larangan berciuman, sebuah tindakan yang tampaknya intim dan tidak berbahaya, dipandang sebagai strategi pencegahan untuk menghentikan penularan wabah, karena diyakini bahwa hal tersebut akan terjadi.
Selain masalah kesehatan, otoritas gerejawi juga berupaya menjaga tatanan moral dalam masyarakat dan sering kali berupaya mengatur perilaku pribadi. dan hubungan.
Berciuman, terutama di depan umum, dianggap sebagai tindakan yang berpotensi melanggar batas kesopanan dan kepatutan.
Larangan tersebut sebagian merupakan upaya untuk menegakkan standar moral tertentu dan mengekang perilaku yang dianggap tidak pantas atau mesum.
Selain itu, pihak berwenang, baik agama maupun kerajaan, berusaha untuk menegaskan kendali dan menjaga ketertiban dalam periode yang ditandai dengan perang, ketidakstabilan politik, dan konflik sosial.
Larangan berciuman berfungsi sebagai alat untuk memperkuat otoritas dan mengatur perilaku publik, menunjukkan sejauh mana pemerintah dapat melakukan intervensi dalam hal ini.
Hukuman Jika Melanggar Aturan
Ketentuan hukum dirancang untuk menguraikan secara spesifik larangan tersebut. Jika rakyat ditemukan melanggar, akan ada konsekuensinya bagi mereka.
Hukumannya berkisar dari denda hingga mempermalukan publik, yang dirancang untuk menghalangi individu melakukan tindakan terlarang dan untuk memperkuat keseriusan tindakan tersebut.
Source | : | History Daily |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR