Nationalgeographic.co.id—Raja Henry VI memberlakukan larangan berciuman pada tahun 1439 di Inggris. Dalam catatan sejarah Abad Pertengahan, keputusan ini dibuat akibat adanya wabah Black Death atau Kematian Hitam.
Tahun 1430-an adalah periode yang penuh gejolak bagi Inggris, ditandai dengan berlangsungnya Perang Seratus Tahun. Perang dengan Perancis, yang berkecamuk sejak tahun 1337.
Perang tersebut menghasilkan kemenangan besar bagi Inggris, namun pada tahun 1430-an, keadaan mulai berbalik, dan negara tersebut bergulat dengan hilangnya wilayah dan tekanan terhadap sumber daya manusia.
Lanskap politik penuh dengan ketegangan, karena monarki, di bawah pemerintahan Raja Henry VI yang masih muda, menghadapi perselisihan internal dan ancaman eksternal.
Gereja memainkan peran penting dalam membentuk norma dan perilaku masyarakat pada era tersebut. Otoritas gerejawi sangat ingin menjaga ketertiban moral dan sering kali berada di garis depan dalam menerapkan peraturan yang berkaitan dengan masalah pribadi.
Larangan berciuman dapat dilihat sebagai perluasan pengaruh Gereja, yang mencerminkan kekhawatiran terhadap kesehatan masyarakat dan moralitas.
Salah satu masalah yang paling mendesak pada saat itu adalah ancaman Black Death yang terus-menerus. Black Death adalah sebuah wabah mematikan yang sempat melanda Eropa sejak pertama kali muncul pada tahun 1347.
Di tahun 1439, Raja Henry VI mengeluarkan proklamasi yang melarang ciuman. Larangan berciuman ini dilakukan karena Raja merasa itu adalah cara terbaik untuk menyelamatkan nyawa rakyatnya. Setelah semua pilihan ilmiah untuk mencegah penyakit ini gagal, larangan berciuman adalah solusi yang paling tepat.
Larangan ini berlaku di seluruh Inggris dan dengan adanya larangan tersebut, masyarakat dilarang berciuman sebagai cara untuk menyapa.
Kematian hitam pertama kali dimulai melalui kutu pada tikus sebelum merajalela di Inggris. Kasus pertama penyakit ini pada manusia tercatat pada bulan Juni 1398. Ketika banyak keluarga tertular penyakit ini, hanya masalah waktu sebelum mereka semua meninggal.
Sekitar 30 hingga 40 persen orang yang terinfeksi meninggal karenanya. Bagi mereka yang sistem imunnya lemah, penyakit ini akan menyebar dan membunuh lebih cepat.
Gejala Kematian Hitam termasuk muntah, berkeringat, memar di bawah kulit, ketidakmampuan mengontrol fungsi otot dan nanah hitam di bawah lengan dan kunci paha.
Banyak korban meninggal dalam waktu empat hingga tujuh hari setelah tertular penyakit tersebut. Ketika wabah terus menyebar ke seluruh Inggris, jumlah korban tewas mencapai 80 hingga 90 persen. Perkiraan kasarnya menyebutkan bahwa sekitar 25 juta orang di Eropa meninggal karena wabah dan sekitar 1000 desa hilang.
Ketika angka kematian meningkat dan krisis meningkat, Raja Henry VI dari Inggris tidak punya pilihan selain menyusun rencana untuk melindungi rakyatnya.
Ketakutan akan penularan selalu ada, dan pihak berwenang sangat ingin menerapkan langkah-langkah yang dapat mengekang penyebaran penyakit ini.
Larangan berciuman, sebuah tindakan yang tampaknya intim dan tidak berbahaya, dipandang sebagai strategi pencegahan untuk menghentikan penularan wabah, karena diyakini bahwa hal tersebut akan terjadi.
Selain masalah kesehatan, otoritas gerejawi juga berupaya menjaga tatanan moral dalam masyarakat dan sering kali berupaya mengatur perilaku pribadi. dan hubungan.
Berciuman, terutama di depan umum, dianggap sebagai tindakan yang berpotensi melanggar batas kesopanan dan kepatutan.
Larangan tersebut sebagian merupakan upaya untuk menegakkan standar moral tertentu dan mengekang perilaku yang dianggap tidak pantas atau mesum.
Selain itu, pihak berwenang, baik agama maupun kerajaan, berusaha untuk menegaskan kendali dan menjaga ketertiban dalam periode yang ditandai dengan perang, ketidakstabilan politik, dan konflik sosial.
Larangan berciuman berfungsi sebagai alat untuk memperkuat otoritas dan mengatur perilaku publik, menunjukkan sejauh mana pemerintah dapat melakukan intervensi dalam hal ini.
Hukuman Jika Melanggar Aturan
Ketentuan hukum dirancang untuk menguraikan secara spesifik larangan tersebut. Jika rakyat ditemukan melanggar, akan ada konsekuensinya bagi mereka.
Hukumannya berkisar dari denda hingga mempermalukan publik, yang dirancang untuk menghalangi individu melakukan tindakan terlarang dan untuk memperkuat keseriusan tindakan tersebut.
Dalam catatan sejarah Abad Pertengahan, penegakan larangan tersebut dipercayakan kepada otoritas lokal dan pejabat gereja. Mereka bertugas memantau perilaku masyarakat dan memberikan hukuman kepada mereka pelanggar.
Beberapa anggota masyarakat menerima larangan tersebut sebagai tindakan yang diperlukan untuk mengekang penyebaran penyakit dan menjaga ketertiban moral. Mereka dengan rela menyesuaikan perilaku mereka dengan kondisi yang ada untuk mematuhi norma baru.
Namun, sebagian lainnya memandang larangan tersebut sebagai pelanggaran terhadap kebebasan pribadi dan melampaui batas wewenang.
Tindakan pembangkangan dan ciuman rahasia menjadi isyarat perlawanan yang simbolis, ketika individu berusaha untuk menavigasi batasan antara kepatuhan dan kepatuhan. Kenyataannya, larangan tersebut hampir mustahil untuk ditegakkan secara konsisten. Pihak berwenang tidak bisa berada di mana-mana sekaligus.
Akibatnya, hanya sedikit orang yang dihukum karena ketidakpatuhan, dan setelah beberapa waktu, hukum tersebut tidak lagi ditegakkan dalam catatan sejarah Abad Pertengahan.
Source | : | History Daily |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR