Nationalgeographic.co.id—Sejak Desember 2023 para ilmuwan mengumumkan bahwa ikan pari jawa (Urolophus javanicus) secara resmi telah punah dari muka bumi. Salah satu jenis ikan pari ini merupakan ikan laut pertama yang punah dari Daftar Merah IUCN dan kini telah hilang dari Daftar Merah yang telah diperbarui.
Yang lebih menyedihkan, ikan pari jawa adalah ikan laut pertama yang dipastikan punah akibat ulah manusia. Para ilmuwan hanya mengetahui sedikit tentang spesies ikan pari jawa. Mereka belum pernah menemukan ikan ini lagi sejak seorang naturalis membeli spesimen yang ia gunakan untuk mendeskripsikan spesies tersebut di pasar ikan di Jakarta pada tahun 1862.
Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) mendeklarasikan kepunahan ikan pari jawa ini pada KTT iklim COP28 di Dubai. Sebelumnya mereka mengategorikan ikan ini sebagai spesies yang sangat langka dan sangat terancam punah dalam Daftar Merah mereka.
Hilangnya salah satu kerabat ikan pari ini menandai “kepunahan pertama spesies ikan laut akibat aktivitas manusia,” kata Craig Hilton-Taylor, kepala Unit Daftar Merah IUCN, seperti diberitakan Radio Free Asia.
Penangkapan ikan secara intensif dan tidak diatur, ditambah dengan hilangnya dan degradasi habitat pesisir akibat industrialisasi, merupakan faktor utama yang menyebabkan kepunahan ikan pari jawa, menurut ketua penilai Julia Constance, kandidat PhD di Charles Darwin University di Australia.
Daftar Merah IUCN, yang ditetapkan pada tahun 1964, merupakan sumber daya terlengkap di dunia untuk menilai risiko kepunahan dan status spesies hewan, jamur, dan tumbuhan. Laporan ini memberikan data penting mengenai wilayah jelajah, populasi, habitat, ancaman, dan tindakan konservasi mereka untuk pengambilan keputusan dan perubahan kebijakan.
“Perubahan iklim merupakan ancaman terhadap keanekaragaman kehidupan di planet kita. Hari ini, kami membawa bukti dampak perubahan iklim terhadap perusakan alam terhadap spesies,” kata Gretel Aguilar, Direktur Jenderal IUCN, kepada para wartawan di Dubai.
Jumlah spesies dalam Daftar Merah telah meningkat dari 150.388 menjadi 157.190. Dengan 44.016 di antaranya, hampir 2.000 lebih banyak dari penghitungan sebelumnya, dianggap berisiko punah, menurut IUCN.
Salah satu spesies yang masuk dalam Daftar Merah adalah penyu hijau (Chelonia mydas). Spesies ini dikategorikan sebagai “terancam punah” di Pasifik Selatan Tengah dan “rentan” di Pasifik Timur.
Penyu hijau terancam punah terutama karena peningkatan suhu laut, peningkatan permukaan air yang menggenangi sarang mereka, dan berkurangnya makanan mereka, yakni lamun. Selain itu, penyu hijau dewasa jugad sering menjadi korban penangkapan ikan industri sebagai tangkapan sampingan.
Daftar Merah yang diperbarui juga menyoroti keberhasilan upaya konservasi, seperti yang terlihat pada kijang bertanduk pedang (Oryx dammah). Spesies ini telah berkembang dari “punah di alam liar” menjadi “terancam punah” karena keberhasilan reintroduksi di Chad.
Demikian pula, antelop saiga (Saiga tatarica) yang sebelumnya “sangat terancam punah” telah meningkat menjadi “hampir terancam”. Populasinya mamalia ini telah meningkat sebesar 1.100% hanya dalam tujuh tahun, terutama di Kazakhstan, karena tindakan anti-perburuan liar yang ketat.
Namun, kedua spesies ini masih menghadapi ancaman perubahan iklim yang semakin besar di wilayah masing-masing. Kijang menghadapi peningkatan kekeringan di wilayah Sahel di Afrika, sedangkan antelop mengalami “kematian massal” pada tahun 2015 akibat suhu dan kelembapan ekstrem.
Dampak perubahan iklim terlihat dalam penilaian ikan
Secara global, seperempat spesies ikan air tawar beresiko punah karena pemanasan suhu, penangkapan ikan berlebihan, dan polusi, menurut penilaian ikan air tawar global pertama yang dilakukan oleh IUCN, yang termasuk dalam pembaruan Daftar Merah terbaru.
Penilaian tersebut mencakup ikan lele raksasa Mekong yang sulit ditangkap, yang populasinya berada di bawah tekanan karena pembangunan bendungan dan penangkapan ikan berlebihan di wilayah Mekong Bawah. Lalu ada pula salmon Atlantik yang mengalami penurunan sebesar 23% antara tahun 2006 dan 2020.
Perubahan iklim berdampak pada setidaknya 17% spesies ikan air tawar yang terancam punah, yang menyebabkan penurunan permukaan air, intrusi air laut ke sungai karena kenaikan permukaan laut, dan perubahan musim.
“Perubahan iklim berinteraksi dengan ancaman-ancaman lain, dan biasanya ancaman-ancaman lain itulah yang mendorong spesies semakin terancam punah dan membuat mereka punah, bukan perubahan iklim itu sendiri,” kata Hilton-Taylor dari IUCN.
Ancaman-ancaman ini termasuk polusi yang berdampak pada 57% ikan air tawar yang terancam punah, bendungan dan pengambilan air berdampak pada 45%, penangkapan ikan berlebihan yang mengancam 25%, serta spesies invasif dan penyakit yang merugikan 33%, menurut organisasi tersebut.
“Ikan air tawar merupakan lebih dari separuh spesies ikan yang dikenal di dunia, suatu keanekaragaman yang tidak dapat dipahami mengingat ekosistem air tawar hanya mencakup 1% dari habitat perairan,” kata Kathy Hughes, salah satu ketua kelompok spesialis ikan air tawar IUCN.
“Spesies yang beragam ini merupakan bagian integral dari ekosistem dan penting bagi ketahanannya. Hal ini penting bagi miliaran orang yang bergantung pada ekosistem air tawar dan jutaan orang yang bergantung pada perikanan.”
Penilaian ikan air tawar dikembangkan dengan masukan dari lebih dari 1.000 ilmuwan dari seluruh dunia dan kombinasi lebih dari 100 lokakarya baik secara tatap muka maupun online. Menurut Hilton-Taylor, IUCN saat ini sedang menilai spesies air tawar di Tiongkok.
Source | : | Radio Free Asia |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR