Nationalgeographic.co.id—Mengikat kaki adalah praktik kejam yang lazim dalam sejarah Tiongkok kuno. Khususnya pada masa Dinasti Song dari abad ke-10 hingga ke-13.
Selama berabad-abad, gadis-gadis muda di Tiongkok mengalami prosedur yang sangat menyakitkan dan melemahkan yang disebut pengikatan kaki.
Dalam catatan sejarah Tiongkok kuno, kaki mereka diikat erat dengan potongan kain, jari-jari kaki ditekuk di bawah telapak kaki dan kaki diikat dari depan ke belakang sehingga membentuk lengkungan tinggi yang berlebihan.
Kaki wanita dewasa yang ideal hanya memiliki panjang tiga hingga empat inci. Kaki kecil yang cacat ini dikenal sebagai “kaki teratai”.
Mode kaki terikat dimulai di kalangan kelas atas masyarakat Han Tiongkok, namun menyebar ke semua orang kecuali keluarga termiskin.
Memiliki anak perempuan yang kakinya terikat menandakan bahwa keluarga tersebut cukup kaya sehingga tidak perlu lagi bekerja di ladang.
Perempuan yang kakinya terikat di sejarah Tiongkok kuno, tidak dapat berjalan dengan cukup baik untuk melakukan pekerjaan apa pun yang mengharuskannya berdiri dalam waktu lama.
Kaki yang diikat dianggap indah. Anak perempuan dengan "kaki teratai" lebih mungkin menikah dengan keturunan yang baik pula. Akibatnya, beberapa keluarga petani yang tidak mampu dan kehilangan pekerjaan akan mengikat kaki putri mereka dengan harapan bisa menarik suami-suami kaya.
Asal Usul Pengikatan Kaki
Berbagai mitos dan cerita rakyat berhubungan dengan asal-usul pengikatan kaki di sejarah Tiongkok kuno. Dalam satu versi, praktik ini berasal dari dinasti paling awal yang terdokumentasi, Dinasti Shang (1600 SM–1046 SM).
Dikatakan, Kaisar Shang terakhir yang korup, Raja Zhou, memiliki selir kesayangan bernama Daji yang terlahir dengan kaki pengkor.
Menurut legenda, Daji yang sadis memerintahkan dayang-dayang istana untuk mengikat kaki putrinya agar menjadi mungil dan cantik seperti miliknya. Daji kemudian dieksekusi. Dinasti Shang pun jatuh, praktiknya tidak bertahan selama 3.000 tahun.
Cerita yang lebih masuk akal menyatakan bahwa kaisar Li Yu yang memerintah 961–976 M dari Dinasti Tang Selatan memiliki seorang selir bernama Yao Niang yang menampilkan "tarian teratai".
Dia mengikat kakinya menjadi bentuk bulan sabit dengan potongan sutra putih sebelum menari dan keanggunannya menginspirasi pelacur dan wanita kelas atas lainnya untuk mengikutinya. Tak lama kemudian, kaki anak perempuan berusia enam hingga delapan tahun diikat menjadi bulan sabit permanen.
Mengikat kaki adalah praktik yang umumnya terbatas pada kelas kaya dan bangsawan. Hal ini mengharuskan keluarga untuk melepaskan pekerjaan anak perempuan mereka agar dapat menjalani proses mengikat kaki yang menyakitkan dan selanjutnya menghindari aktivitas fisik yang berat.
Oleh karena itu, praktik ini lebih merupakan penanda status sosial dan bukan praktik universal. Latihan ini sering dianggap sebagai cara untuk membuat seorang gadis lebih layak untuk dinikahi, karena kaki kecil dianggap sebagai tanda kecantikan dan kehalusan dalam masyarakat Tiongkok.
Namun, hal ini juga mempunyai dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan dan membatasi mobilitas perempuan, sehingga menyebabkan berkurangnya peluang sosial dan ekonomi mereka.
Meskipun ada dampak fisik yang harus ditanggung perempuan, pengikatan kaki tetap ada selama berabad-abad. Hal itu dipandang sebagai tanda feminitas dan kehalusan, dan wanita dengan kaki terikat dianggap lebih diinginkan dalam pernikahan.
Pengikatan kaki juga menjadi cara bagi keluarga untuk menunjukkan kekayaan dan status sosial mereka, karena hanya keluarga yang mampu membiarkan anak perempuannya tinggal di dalam rumah dan tidak bekerja di ladang yang mampu mengikat kaki mereka.
Bagaimana Pengikatan Kaki Menyebar di Sejarah Tiongkok Kuno?
Pada masa Dinasti Song (960-1279), mengikat kaki menjadi kebiasaan yang mapan dan menyebar ke seluruh Tiongkok bagian timur.
Setiap wanita etnis Han Tiongkok dari status sosial apa pun diharapkan memiliki kaki teratai. Sepatu bersulam indah dan berhiaskan permata untuk kaki terikat menjadi populer, dan pria terkadang meminum anggur dari alas kaki wanita.
Ketika bangsa Mongol menggulingkan Dinasti Song dan mendirikan Dinasti Yuan pada tahun 1279, mereka mengadopsi banyak tradisi Tiongkok. Akan tetapi, tidak bersifat mengikat.
Perempuan Mongol yang jauh lebih berpengaruh secara politik dan mandiri sama sekali tidak tertarik untuk menjadikan anak perempuan mereka agar sesuai dengan standar kecantikan Tiongkok.
Oleh karena itu, kaki perempuan langsung menjadi penanda identitas etnik, yang membedakan perempuan Tionghoa Han dengan perempuan Mongol.
Hal yang sama juga terjadi ketika etnis Manchu menaklukkan Ming Tiongkok pada tahun 1644 dan mendirikan Dinasti Qing (1644–1912).
Perempuan Manchu secara hukum dilarang mengikat kaki mereka. Namun tradisi tersebut tetap kuat di kalangan rakyat Han.
Pada awal abad ke-20, pengikatan kaki akhirnya mulai menurun di sejarah Tiongkok seiring dengan modernisasi negara tersebut. Gagasan Barat tentang hak-hak perempuan mulai mempengaruhi masyarakat Tiongkok.
Praktek ini secara resmi dilarang pada tahun 1912, namun terus berlanjut di beberapa daerah pedesaan selama beberapa dekade. Saat ini, mengikat kaki dipandang sebagai peninggalan masa lalu, dan banyak perempuan Tiongkok menderita akibat jangka panjang dari praktik tersebut.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Source | : | thought.co |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR