Nationalgeographic.co.id—Setelah berlama-lama di Kesultanan Delhi India, akhirnya Ibnu Batutah mendapat kesempatan untuk melanjutkan perjalanannya. Sebelum 1345, dia ditahan oleh Sultan Muhammad bin Tughluq untuk bekerja sebagai hakim.
Terkadang, di India, Ibnu Batutah dipercayai, di satu sisi juga bisa dicurigai sebagai musuh dalam selimut. Padahal dia hanyalah ulama dan cendekiawan yang menjelajah ke penjuru dunia.
Momen paling penting bagi Ibnu Batutah adalah datangnya surat utusan dari Kekaisaran Tiongkok semasa Dinasti Yuan, pecahan dari wangsa Mongol yang mendunia dalam sejarah abad pertengahan.
Kaisar meminta agar Kesultanan Delhi membangun kembali wihara di Himalaya yang biasa menjadi tempat ziarah umat Buddha dari Tiongkok. Ibnu Batutah pun dikirim untuk mengirim balasan dari sultan sebagai diplomat.
Rute internasional
Bisa dibilang, perjalanan Ibnu Batutah ke Tiongkok lebih mulus dibandingkan Marco Polo, penjelajah abad pertengahan sebelumnya.
Jika Marco Polo melalui dataran Asia Tengah yang bergurun dan dataran tinggi, Ibnu Batutah justru melalui jalur laut melintasi Srilanka, Myanmar, Samudra Pasai (Aceh), Selat Malaka, Laut Natuna Utara, dan akhirnya tiba di Quanzhou.
Jalur yang ditempuh Marco Polo, walau merupakan rute perdagangan utama Jalur Sutra, sangat berbahaya. Ada banyak bandit dan pemberontak yang siap merampok pedangang.
Sementara, dalam Rihla, Ibnu Batutah yang melalui jalur laut, menyisiri pesisir dengan lebih aman. Bahkan disambut hangat oleh Sultan Al Malik Al Zahir di Samudra Pasai. Perjalanan ke Tiongkok pun disokong oleh sultan dari Sumatra itu dengan kru dan kapal jung.
Sejak lama, orang Arab terbiasa memilih dua jalur untuk ke Kekaisaran Tiongkok: darat dan laut. Rute perdagangan di laut sudah terbentuk. Inilah yang kemudian menjadi awal penyiaran agama Islam di Timur Jauh sampai pesisir Tiongkok oleh musafir Arab dan Persia pada abad ke-18.
Bangsa Tionghoa, Arab, dan Persia memiliki kesamaan: suka berdagang melalui jalur laut. Inilah yang kemudian mempertahankan jalur laut begitu aktif dalam sejarah abad pertengahan, sekaligus rute penyebaran agama Islam yang kuat di Tiongkok.
Bisa jadi, rute laut dipilih Ibnu Batutah karena lebih dikenal dan aman, selain aksesnya yang lebih mudah dari pelabuhan India. Perjalanan Ibnu Batutah ke Tiongkok sampai kembali ke India diperkirakan terjadi pada 1345-1346.
Ibnu Batutah tiba di Tiongkok
Ibnu Batutah tiba di Quanzhou dan segera menjelajahi Tiongkok setelah 40 hari berlayar dari Samudra Pasai. Dalam catatan perjalanannya, Tiongkok dalam sejarah abad pertengahan begitu disanjung oleh Ibnu Batutah.
"Tiongkok adalah negara teraman dan paling nyaman di dunia bagi para penjelajah. Anda dapat melakukan perjalanan sendirian melintasi negeri ini selama sembilan bulan tanpa rasa takut, meskipun Anda membawa banyak harta," tulisnya.
Umat muslim begitu diterima di Kekaisaran Tiongkok. Dinasti Yuan yang berkuasa merupakan salah satu keturunan Genghis Khan dari Mongol. Bangsa Mongol, dalam sejarah abad pertengahan, menguasai banyak negeri. Tidak sedikit, keturunan Genghis Khan yang masuk Islam dan mengubah tatanan negara pecahan Mongol berlandaskan Islam.
Di Tiongkok sendiri, komunitas muslim dari Timur Tengah dan Asia Tengah menduduki jabatan penting.
Ibnu Batutah mendeskripsikan kondisi agama Islam di Tiongkok. Meski hubungan dunia Tiongkok dan Timur-Tengah telah terjalin sejak lama, agama yang dipeluk Ibnu Batutah sangat sedikit.
"Tiongkok memang indah, tetapi itu tidak membuatku senang. Sebaliknya, saya sangat bingung memikirkan bagaimana paganisme mendominasi negara ini," kesan Ibnu Batutah. "Selama saya tinggal di Tiongkok, setiap kali saya melihat seorang muslim, saya selalu merasa seolah-olah sedang bertemu dengan keluarga dan kerabat terdekat sendiri."
“Orang Tionghoa sendiri adalah orang-orang kafir yang menyembah berhala dan membakar mayatnya seperti orang Hindu … memakan daging babi dan anjing, dan menjualnya di pasar mereka,” lanjutnya.
Beijing pada masa kekuasaan Dinasti Yuan disebut bernama Dadu. Ibnu Batutah dalam catatan perjalanannya menyambanginya dengan menyusuri Kanal Besar. Di sana, Kaisar Tiongkok bertakhta, namun deskripsi Ibnu Batutah sedikit kabur, termasuk tentang kota Dadu.
Sebagian ahli sejarah percaya bahwa Ibnu Batutah tidak benar-benar melakukan perjalanan ini. Terlebih, catatan perjalanannya lebih membahas Darul Islam (dunia Islam). Ahli sejarah abad pertengahan memperkirakan cerita tentang kota Dadu atau Beijing muncul dari cerita-cerita pelancong lain yang dijumpainya.
Ibnu Batutah berjumpa dengan beberapa umat muslim dan menumpang rumahnya. Di Hangzhou, kota terbesar di dunia dalam sejarah abad pertengahan di Kekaisaran Tiongkok, dia berjumpa dengan pedagang muslim kaya.
Ada pula cerita pengalaman Ibnu Batutah tinggal bersama pemeluk agama Islam dari Mesir selama beberapa minggu. Selama menumpang ini, Ibnu Batutah dijamu makan, naik kapal, dan menyaksikan atraksi sulap.
Kemudian, dia bertemu dengan orang yang pernah ditemui di India di Fuzhou. Orang itu kini telah menjadi kaya dengan deskripsi lengkap "memiliki sekitar 50 budak kulit putih dan banyak budak perempuan, dan memberi saya masing-masing dua budak, bersama dengan banyak hadiah lainnya."
Pada 1346, Ibnu Batutah berencana bertolak kembali ke Quanzhou. Dia akan pulang dari Kekaisaran Tiongkok melewati Selat Malaka untuk mengembalikan kapal jung milik Sultan Al Malik Al Zahir di Samudra Pasai. Setelah itu, ia berganti kapal untuk kembali ke Kesultanan Delhi India, Kekaisaran Ilkhanat (wangsa Mongol di Persia), dan Mamluk, sebelum akhirnya pulang ke Maroko.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR