Nationalgeographic.co.id—Untuk pertama kalinya, bangsa Korea berdiri dalam satu kekaisaran setelah melalui periode Tiga Kerajaan Lawas, Kerajaan Utara dan Selatan, dan Tiga Kerajaan Akhir. Persatuan Kekaisaran Korea itu terjadi pada abad ke-10 di bawah Dinasti Goryeo.
Antara 1170 dan 1270, Kekaisaran Korea Dinasti Goryeo berada di kuasa junta militer dan sempat mengalami perang saudara pada 1135. Bagaimanapun, Kekaisaran Korea tetap berjuang mempertahankan kedaulatannya ketika bangsa Khitan dari Dinasti Jinn Jurchen menyerbu pada 1215.
Pada saat itu, Dinasti Jinn Jurchen mengalami penyusutan akibat kebangkitan Kekaisaran Mongol. Serangan bangsa Jurchen ini bahkan dapat menerobos masuk ke selatan. Di bawah Jenderal Kim Chwi-ryeo, mereka berhasil dipukul kembali ke utara.
Agar menumpas bangsa Jurchen, Kekaisaran Korea dan Mongol bersekutu untuk menguasai kekuatan bangsa Khitan. Pada 1219, keduanya menghabisi sisa-sisa bangsa Jurchen yang melawan di Pyongan (daerah barat laut Korea utara hari ini).
Bangsa Mongol memulai serangan ke Kekaisaran Korea
Setelah berhasil mengusir bangsa Khitan, Kekaisaran Korea Dinasti Goryeo mengirim delegasi ke kepada para komandan Mongol. Kaisar Gojong dari Goryeo (bertakhta 1213-1259) bertemu dengan utusan bangsa Mongol.
Pada 1221, delegasi Mongol datang lagi ke perbatasan. Mereka menuntut pembayaran upeti dan Kaisar Gojong setuju. Pihak Kekaisaran Korea kemudian menghentikan pengiriman upeti pada 1224 sebagai bentuk perlawanan terhadap bangsa Mongol yang dirasa semakin semena-mena.
Utusan Mongol untuk Korea pun terbunuh secara misterius saat bersamaan penghentian upeti. Ogedei Khan, calon kaisar Mongol merespons dengan tudingan bahwa Korea berkhianat. Dia segera mengutus Jenderal Saritai untuk melakukan serangan pada 1231.
Sejarawan militer AS William E. Hentorn dalam buku Korea: the Mongol invasions menjelaskan bahwa bangsa Mongol mula menyeberangi Sungai Yalu. Hari ini, sungai itu berada persis di perbatasan Korea Utara-Tiongkok. Serdadu Mongol di bawah Saritai dengan cepat menguasai kota Hamsin-chin (sekarang Uiju) yang berada di tepi sungai.
Kampanye militer pertama Mongol ini berlanjut sampai menguasai Anju dan Kuju (sekarang Kusong) yang berada di utara Pyongyang. Dalam sebuah negosiasi, bangsa Mongol menutut Goryeo menyerah.
Berbagai daerah Kekaisaran Korea masih melawan, sampai akhirnya Kaesong dikepung pada Desember 1231. Dinasti Goryeo pun tunduk secara resmi. Akan tetapi, pertempuran belum usai. Serdadu Kekaisaran Mongol menjarah kota-kota yang telah direbut.
Sejak September 1231 hingga Januari 1232, Saritai mengepung kota Kuju dengan senjata canggih. Bangsa Mongol menggunakan ketapel batu besar dan logam cair untuk menghancurkan tembok kota. Kekaisaran Korea menolak menyerah. Mereka melawan sampai menang. Saritai dan serdadunya gagal menguasai Kuju.
Kuju kemudian menyerah ketika Istana Kekaisaran Korea memberi perintah. Saritai segera menuntut upeti seperti kuda, kuli berang-berang, dan satu juta pakaian untuk tentara. Kaisar Gojong pun memenuhi tuntutan.
Dengan demikian, Jenderal Saritai menarik pasukan utamanya dari kekaisaran Korea dengan meninggalkan para pejabat administatif.
Empat kampanye bangsa Mongol
Hentorn mencatat, bangsawan Dinasti Goryeo tidak semuanya sepakat dengan perintah Kaisar Gojong. Choe Woo, pimpinan militer junta Korea mengumpulkan semua pejabat tinggi pada musim semi 1232, memerintahkan Istana Kerajaan pindah ke Pulau Ganghwa.
Tindakan ini membuat bangsa Mongol murka. Sementara, Choe Woo bersiasat untuk menguasai kelemahan bangsa Mongol, yakni kekuatan di laut. Pulau Ganghwa pun dijadikan benteng pertahanan yang kuat untuk menghadapi bangsa Mongol.
Kekaisarn Mongol mengerahkan serangan kedua dengan pasukan dipimpin Hong Bok-won, pengkhianat dari Pyongyang. Serdadu Mongol memasuki Korea utara dan menuju pesisir di bagian selatan untuk merebut Pulau Ganghwa.
Walaupun Pulau Ganghwa berada beberapa mil dari pesisir, pasukan Mongol tidak mampu menaklukkannya. Mereka pun dipukul mundur ke Gwangju dan berhadapan dengan perlawanan masyarakat Sipil. Saritai terbunuh dalam peristiwa ini, sehingga bangsa Mongol mundur.
Tidak mau menyerah, bangsa Mongol segera memulai kampanye ketiganya pada 1235. Henthorn menulis, bangsa Mongol membawa kekuatan besar sehingga menghancurkan sebagian kawasan di Gyeongsang dan Jeolla.
Tidak jarang, Kekaisaran Korea bisa bertahan dan memenangkan pertempuran. Akan tetapi, bangsa Mongol yang tidak bisa menguasai Pulau Ganghwa melakukan serangan bumi hangus tanah pertanian Kekaisaran Korea. Hal ini membuat penduduk kelaparan. Hal ini pun membuat beberapa pejabat di Ganghwa menyerah dan Mongol mengeksekusi pemberontak.
Belum semua bangsawan Kekaisaran Korea menyerah. Bangas Mongol memulai kampanyenya yang keempat pada 1247 dengan menuntut agar ibu kota kembali ke Songdo (sekarang Kaesong).
Bangsa Mongol juga menuntut agar keluarga kerajaan menjadi sandera. Namun, serangan ini tidak berjalan lancar karena Guyuk Khan wafat pada 1248. Serdadu pun mundur dan melanjutkan serbuan pada kampanye militer kelima ketika Mongke Khan naik takhta pada 1251.
Mongke Khan lebih tegas. Dia menuntut agar Kaisar Gojong menghadapnya langsung dan segera mengembalikan ibukota Korea ke daratan utama. Istana Dinasti Goryeo menolak karena sang kaisar sudah terlalu tua.
Mongke pun mengirim pasukan dengan utusan Pangeran Yeku bersama Amuqan. Ekspedisi ini menghancurkan berbagai tempat di Kekaisaran Korea. Sampai akhirnya, Kaisar Gojong menemui Yeku di istana barunya di Sin Chuan-bug. Kaisar setuju untuk memindahkan ibu kotanya kembali. Kedua belah pihak melakukan gencatan senjata pada 1254.
Dinasti Goryeo menjadi vasal Dinasti Yuan
Masih ada empat kampanye militer bangsa Mongol ke Korea antara 1254 dan 1257 yang sangat dahysat. Pada invasi kampanye, bangsa Mongol membawa sandera dari Kekaisaran Korea. Hal ini membuat Kekaisaran Korea Dinasti Goryeo mulai menjadi vasal Kekaisaran Mongol.
Namun, sandera itu ternyata bukan pangeran berdarah Dinasti Goryeo sehingga Mongke Khan menyerang Korea lagi dan melawan pembelot.
Menjelang kampanye kedelapan yang berlangsung Mei-Oktober 1257, Dinasti Goryeo mengalami ketidakstabilan dengan adanya kudeta balasan terhadap Choe Hang—pewaris rezim militer. Peristiwa ini mengakhiri masa kekuasaan keluarga Choe yang terlalu lama mendikte kekaisaran.
Sejak awal sudah terlihat bahwa pihak kerajaan cenderung ingin berdamai dengan bangsa Mongol, sedangkan keluarga Choe tidak. Setelah pembunuhan Choe Hang, perjanjian damai dengan bangsa Mongol disepakati.
Hasil kesepakatan itu membuat Kekaisaran Korea bisa berdiri secara otonom, bukan lagi dipimpin Karakorum, ibu kota Mongol. Dari kesepakatan itu, bangsawan Goryeo, termasuk Kaisar Wonjong, harus menikahi putri Mongolia. Dengan demikian, Kekaisaran Korea tetap menjadi bawahan Kekaisaran Mongol.
Pada 1259, Raja Gojong wafat dan digantikan oleh putranya, Wonjong. Kenaikan takhta Wonjong dibantu oleh Kubilai Khan yang membuat Kekaisaran Korea menjadi negara bawahan Dinasti Yuan. Kubilai Khan mencegah pemberontakan demi kenaikan Wonjong.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR