Nationalgeographic.co.id - Nenek moyang kita mengetahui pentingnya menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan alam. Dalam kisah relief Karmawibangga di Candi Borobudur, leluhur kita menegaskan agar tidak menangkap ikan dan berburu berlebihan. Jika dilanggar, angkara alam akan datang dengan bencana.
Keyakinan itulah yang masih dilestarikan oleh masyarakat di Desa Sambeng, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Cuk Riomandha, penulis kontributor National Geographic Indonesia bersama Dwi Oblo menyambangi Desa Sambeng yang masih mewarisi aturan leluhur ini.
"Salah satu kegiatan liputan kita kali ini, selain kita berkeliling di beberapa [dusun di] Desa Sambeng, memang lebih banyak fokusnya adalah di sekitaran Sungai Progo, yaitu di Dusun Gleyoran," kata Cuk dalam Bincang Redaksi-60 Edisi Khusus Desa Budaya Sambang, Sambung, Sumbang, Sambeng pada 24 Januari 2023.
"Ketika kami ke sana, mereka (warga Desa Sambeng) sedang melaksanakan kegiatan yang mereka kasih nama itu adalah Festival Njala Sakmadya," lanjut Cuk.
Dalam festival ini, warga Desa Bduaya Sambeng menerapkan warisan leluhur. Mereka menangkap ikan di Sungai Progo yang melimpah dengan secukupnya. Sungai ini adalah denyut kehidupan bagi warga desa.
Dwi juga menambahkan, ada banyak sekali momen menarik untuk diabadikan dari Festival Njala Sakmadya dan kehidupan warga. Salah satunya yang menarik adalah penggunaan bunga kenanga yang sangat identik dengan kehidupan desa.
"Ada namanya ini mencuci perlatan kesenian yang akhirnya menjadi cover story Sambeng. Itu menarik banget karena sebelum dimainkan itu peralatan kesenian dicuci kayak peralatan pakai bunga-bunga. Salah satunya di sana ada bunga kenanga campur kembang telon, ada mawar, kantil.
"Kenanga jadi penting banget karena pada bulan-bulan tertentu harganya bisa 1000 persen naik!" seru Dwi. "Beberapa orang menanam bunga kenanga sampai tinggi, sampai-sampai kalau mau mengambil harus memanjat."
Denyut desa di tepi Sungai Progo
Di antara derasnya Sungai Progo, warga desa menjaga kebiasaan menangkap ikan dengan peranti nelayan berbahan dasar bambu apus. Tidak sungkan, warga juga mengajak wisatawan yang berkunjung di Festival Njala Sakmadya untuk melihat pengolahan hasil tangkapan dari Sungai Progo dan mencicipinya.
Ikan beong (Bagrus nemurus) sangat terkenal sebagai hasil tangkapan warga Desa Budaya Sambeng. Untuk mendapatkannya, warga menggunakan teplak, peranti terbuat dari bambu setinggi manusia yang kemudian dipasangi umpan. Teplak akan menjebak ikan beong.
Meski demikian, ikan beong jarang dimakan oleh warga Desa Sambeng. Ikan ini lebih sering dibawa ke pasar untuk diperjualbeli atau ditukar dengan kebutuhan pangan lain. Penjualan ikan beong ini yang membuat Desa Sambeng terkenal.
"Dia ikan favorit dan harganya tinggi, sehingga sesekali makan beong. Lebih baik dijual. Kecuali kalau enggak ada yang beli, baru dimakan," ujar Cuk.
Ada banyak hasil olahan warga Desa Sambeng. Mereka mengolah berbagai hasil bumi menjadi pangan yang selalu tersedia. "Mereka (warga Desa Sambeng) sempat bercerita dulu sempat bikin kayak nasi tiwul. Saat beras susah, mereka makannya nasi tiwul," jelas Cuk.
Keajaiban ketahanan pangan Desa Budaya Sambeng
Sungai Progo menjadi denyut utama warga Desa Sambeng. Dulu, sebelum ada jembatan yang menghubungkan desa dengan daerah lain di Kecamatan Borobudur, warga menggunakan ramon, perahu rakit terbuat dari bambu, demi menyeberangi Sungai Progo.
Masyarakat membawa hasil bumi seperti ikan, mangga, bunga kenanga, durian, dan lainnya untuk dibawa ke Pasar Japuhan di Kecamatan Muntilan. Hasil bumi itu ditukar dengan beras dan kebutuhan lainnya. Pastinya, Pasar Japuhan ini telah ada sejak zaman Hindia Belanda untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat.
Hari ini, kegiatan pertukaran tersebut masih dilakukan oleh beberapa warga desa. Dengan demikian, kebutuhan pangan bisa terpenuhi tanpa harus mengeluarkan uang, sembari bertukar hasil kekayaan alam.
"Sambeng punya sungai, taping enggak punya sawah. Kalau mau makan nasi bagaimana? Orang-orang Sambeng cukup berdaya untuk mencukupi kebutuhan pangan dengan hasil bumi lainnya: Tanam buah, palawija, perikanan, dan usaha lain yang bisa ditukar dengan beras," ungkap Dwi.
"Mereka juga membuat jamu yang sangat khas. Saya enggak tahu apakah ini ditemukan di tempat lain ya. Namanya wedang semelak. Mungkin di tempat lain dalam bentuk nama berbeda," terang Cuk.
Wedang semelak merupakan jamu terbuat dari buah mengkudu. Buah yang terkenal bau dan pahit, ternyata memiliki khasiat untuk kebugaran.
Warga mengolah secara tradisional buah mengkudu dengan campuran aneka rempah untuk membuat wedang semelak. Ada banyak rempah yang ditanam di sini, seperti jahe dan kunir yang dimanfaatkan untuk minuman berkhasiat.
Setelah diramu, wedang semelak mengubah kesan bau dan pahit buah mengkudu dengan aroma yang tidak menyengat dan nikmat di lidah. Inilah salah satu keajaiban sekaligus keberdayaan tradisi dalam ketahanan pangan khas warga Desa Sambeng.
"Semua warga mengingat sesanti hidup sehari-hari dalam sambang, sambung, sumbang, sambeng. Sebuah ungkapan yang mengingatkan mereka untuk senantiasa bergotong-royong, saling mengunjungi, saling mengenali, saling berbagi, dan saling berkontribusi untuk kehidupan bersama yang lebih nyaman, damai, dan sejahtera," kesan Cuk.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR