Nationalgeographic.co.id—Perjalanan Ibnu Batutah pada abad ke-14 telah melintasi berbagai daerah, baik di Afrika, Timur Tengah, hingga Asia. Meski telah menjelajah dunia selama lebih dari 20 tahun, perjalanannya telah memasuki babak akhir di Mali yang terletak dalam kawasan Afrika Barat.
Perjalanan Ibnu Batutah di Mali berawal dari kabar yang didengarnya saat berkunjung ke Mesir pada 1326. Kala itu, dia sempat mendengar kedatangan Mansa Musa (Raja Kekaisaran Mali pada 1307-1332) dua tahun lebih awal untuk beribadah di Mekkah.
Kedatangan sang raja saat itu dilakukan bersama ribuan budak dan sekelompok tentara, istri-istri, dan beberapa pejabat lainnya. Dengan bantuan 100 unta pembawa emas, Mansa Musa membagi-bagikan uangnya kepada masyarakat Mesir hingga pasar emas sempat mengalami krisis beberapa lama setelahnya.
Tak hanya itu, Ibnu Batutah juga mendengar bahwa Mali terkenal dengan pasokan beberapa barang perdagangan seperti gading, bulu burung unta, kacang kola, hingga budak. Hal-hal inilah yang membuat Kekaisaran Mali dikenal karena kekayaannya, sehingga membuatnya merencanakan kepergiannya ke Mali.
Perjalanannya ke Afrika Barat dimulai dari saat dia menyewa seorang pemandu dan berjalan kaki. Dia mengamati bahwa perjalanan yang dilakukannya mudah karena rute perdagangan yang ditetapkan warga Islam.
Selama perjalanan, dia sempat melewati Gurun Sahara dengan karavan unta, lalu 25 hari kemudian dia tiba di Taghaza. Daerah ini merupakan kawasan penambangan garam utama luas yang memenuhi kebutuhan warga Mali, di mana penduduknya kebanyakan merupakan budak-budak yang bertugas di sana.
Sepuluh hari menetap di Taghaza, Ibnu Batutah menghadapi ragam tantangan. Mulai dari tempat tinggalnya yang dibangun dari garam dan atap dari kulit unta, air yang sangat asin, serta makanan yang harus dibawa dari luar daerah.
Namun, dia mendapatkan hal yang menarik terkait kebiasaan perdagangan warga setempat. Dia mengamati bahwa unta-unta di sana bisa mengangkat dua bongkahan besar garam serta perdagangan dilakukan dengan menjadikan garam sebagai mata uang.
"Orang-orang menukarkan garam sebagai uang sebagimana orang lain menukarkan emas dan perak. Mereka memotongnya dan menukarkan dalam beberapa pecahan," tambah Ibnu Batutah dalam Rihla.
Setelahnya, dia berjalan ke Walata dan hanya bertahan selama beberapa pekan dan kembali pergi untuk melanjutkan perjalanan ke Mali. Dalam perjalanan, dia sempat melewati sebuah sungai
dia sempat menukarkan beberapa butir manik-manik kaca dan pecahan garam untuk beberapa makanan lokal seperti ayam dan nasi.
Sesampainya di pusat pemerintahan Mali, dia sempat berkunjung dan bertemu Mansa Sulayman, adik dari Mansa Musa. Mansa Sulayman telah menjadi Raja Kekaisaran Mali sejak 1341, di mana kala itu Mansa Musa telah meninggal dunia.
Di sana, dia berkunjung ke beberapa kastil milik sang raja. Kastil utamanya dibangun oleh seorang arsitek dari Andalusia yang didekorasi dengan indah, sedangkan bangunan tempat tinggal masyarakat identik dengan dinding tembikar dengan atap kayu dan alang-alang.
Amatan Ibnu Batutah tentang Mali
Selama menetap di Mali, Ibnu Batutah mengamati tentang bagaimana tingginya keadilan di antara para warga. Begitu pula dengan hal yang terjadi di kalangan penjelajah, di mana mereka tidak takut dengan pencurian dan perampokan dengan kekerasan.
Di dalam masyarakatnya, warga Mali juga tekun dalam mengamati waktu-waktu berdoa dan mengajarkan anak-anak mereka untuk menjalankan ibadah. Dengan tingkat kehadiran yang tinggi saat ibadah, para laki-laki sering mengirimkan anak-anaknya untuk menyisakan tempat bagi mereka.
Pendidikan agama dari orang tua terhadap anak yang cukup keras juga terlihat dalam kebiasaan masyarakat Mali pada saat itu. Selain memukul anaknya jika tidak menghargai tanggung jawab ibadah, pemberian hukuman juga tampak agar anak-anak mereka bisa sungguh-sungguh belajar.
"Suatu hari, saya mengunjungi seorang kadi (hakim hukum Islam) dan anak-anaknya diikat. Saya tanya kepadanya, 'Mengapa Anda tidak melepaskan mereka?' Dia menjawab, 'Saya tidak akan melakukan hal tersebut sampai mereka hafal Al-Qur'an dengan sungguh-sungguh."
Namun, dia mengkritik beberapa hal yang ditemuinya di Kekaisaran Mali. Salah satunya adalah tentang kebiasaan para perempuan, terutama budak, pembantu, dan anak-anak sultan, yang tidak mengenakan sehelai pakaian terutama saat hadir di depan sang raja.
Di sisi lain, dia juga mengamati kemurahan hati Mansa Sulayman saat masih menetap di ibukota Kekaisaran Mali. Salah satunya adalah kisah saat sekelompok masyarakat kanibal berkunjung ke kediaman sang raja.
Mereka datang dengan mengenakan anting-anting besi yang besar serta mantel perak, lalu mengatakan bahwa mereka berasal dari daerah yang kaya akan emas. Mendengar hal itu, sang sultan memberikan mereka seorang budak perempuan sebagai persembahan yang kemudian dikonsumsi.
Setelah menetap di Mali selama berbulan-bulan, dia pergi ke Timbuktu bersama seorang pedagang. Perjalanan ini sempat dilakukannya dengan jalur darat menggunakan unta, lalu jalur laut dengan sebuah kapal kecil.
Dalam perjalanan inilah, Ibnu Batutah bertemu dengan seekor kuda nil untuk pertama kalinya. Pada masa itu, kuda nil dianggap sebagai hewan yang menakutkan bagi masyarakat yang menggunakan kapal.
"Mereka lebih besar dari seekor kuda, mereka memiliki surai dan ekor, kepalanya seperti kepala kuda dan kaki mereka seperti kaki gajah," jelasnya.
Setelah itu, dia berkunjung ke kota Gao yang dikenal sebagai pusat perdagangan. Kota tersebut banyak memiliki sumber-sumber seperti beras, ayam, ikan, hingga buah dari pohon baobao. Di sana, dia menetap selama sebulan dan melanjutkan perjalanan ke Takedda.
Perjalanan ini berakhir kala Ibnu Batutah diminta untuk kembali oleh Abu Inan Faris, Sultan Maroko saat itu. Selesai dari Takedda, dia kembali ke Fez melalui Sijilmasa dan sampai pada awal 1354.
Penulis | : | Laurensia Felise |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR