Berbeda dengan masa Yunani Kuno, catatan masa Kekaisaran Romawi justru menemukan bahwa ada peningkatan masalah demensia. Ada empat tokoh yang mencatat penyakit ini pada masa itu.
Galenos menyebut bahwa pada usia 80 tahun, beberapa lansia akan mulai kesulitan belajar berbagai hal baru. Sementara itu, Plinius Tua mencatat bahwa ada kasus di mana orator sekaligus anggota dewan pemerintah Valerius Messala Corvinus lupa namanya sendiri.
Bahkan, Marcus Tullius Cicero juga mengamati bahwa kekonyolan orang-orang lansia merupakan ciri dari orang tua yang tidak bertanggung jawab, meski hal ini tak berlaku bagi semua orang. Dia turut menyebut bahwa demensia merupakan konsekuensi tak terhindarkan dari proses penuaan.
Temuan berbagai teks ini membuat para peneliti berasumsi tentang kondisi kota Romawi saat itu. Dia menyebut bahwa semakin padat dan polusi semakin tinggi kota tersebut, maka kasus penurunan kognitif bisa meningkat.
Ini kemudian diperkuat dengan kebiasaan masyarakat, terutama bangsawan, dalam penggunaan bahan timbal. Bahan yang memiliki zat berbahaya bagi saraf tubuh ini dipakai sebagai bahan baku wadah masak, pipa air, hingga campuran dalam minuman anggur.
Studi Alzheimer pada Masyarakat Suku Tsimane
Dengan minimnya data demografis pada masa Yunani kuno dan Kekaisaran Romawi, para peneliti menggunakan referensi penuaan kuno pada masyarakat Tsimane. Suku ini merupakan warga lokal yang berada di kawasan Amazon di Bolivia.
Suku Tsimane terkenal dengan gaya hidup praindustri seperti masyarakat pada zaman Yunani kuno dan Kekaisaran Romawi. Warganya dikenal memiliki fisik yang sangat sehat dan aktif serta tingkat demensia yang rendah.
Temuan ini didukung dengan hasil penelitian internasional yang berbeda milik profesor Margaret Gatz dari USC Leonard Davis School. Hasilnya, hanya ada sekitar satu persen masyarakat lansia suku Tsimane yang mengidap demensia.
"Data [tentang] suku Tsimane sangat bermanfaat karena bahasannya cukup mendalam. Mereka menjadi populasi masyarakat lansia dengan demensia paling sedikit yang pernah didokumentasikan," ujar Finch.
Dia juga menambahkan bahwa penelitian milik Gatz turut mengindikasi bahwa risiko demensia terbesar ada pada lingkungan.
Baik Finch maupun Stanley M. Burstein sebagai sejarawan dari California State University menyebutkan penelitian mereka membutuhkan studi sejarah lebih lanjut untuk mengetahui tingkat prevalensi penyakit demensia dan penyakit sejenis seperti Alzheimer.
Penulis | : | Laurensia Felise |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR