Pertama, mereka berpendapat bahwa “orang bermoral” dan “orang baik” hanya menunjukkan keadilan. Kenyataannya, mereka tetap tidak adil.
Mereka tampil hanya sekedar untuk mendapatkan pujian publik karena dengan mendapatkan pujian publik, mereka bisa memajukan diri mereka di masyarakat.
Jadi, “orang yang adil” bukanlah orang yang adil; dia hanya mengobarkan semangat massa dan memenangkan pujian mereka demi keuntungan dirinya sendiri.
Yang kedua adalah argumen mengenai manfaat yang didapat dari ketidakadilan. Glaucon dan Adeimantus berpendapat bahwa ketidakadilan membawa banyak manfaat, dan terlebih lagi, bersikap tidak adil itu menguntungkan diri sendiri.
Mereka juga berargumentasi, bahwa orang tua mendidik anak mereka “untuk bersikap adil” karena mereka akan menerima imbalan karena bersikap adil.
Tidak seperti Plato, yang percaya bahwa manusia pada dasarnya mendambakan rasa keadilan, Glaucon percaya bahwa manusia pada dasarnya tidak adil.
Dengan adanya ketidakadilan secara alami, maka ketidakadilan adalah kondisi alamiah dan, mengikuti logika Glaucon, ketidakadilan sebenarnya bersifat “moral” karena memang begitulah manusia. Tidak ada yang “tidak wajar” atau “tidak bermoral” dalam tindakan yang tidak adil
Pada akhirnya, Glaucon berpendapat bahwa semua intrik kontrak sosial, semua roda masyarakat, dirancang untuk menguntungkan pihak yang tidak adil.
Fakta Glaucon, Filsuf di Sejarah Yunani Kuno
Seorang sejarawan berpendapat bahwa dua hal utama tentang kehidupan Glaucon dapat dipahami melalui komentar Socrates.
Tertulis bahwa Glaucon sudah cukup umur untuk mendapatkan ketenaran dalam Pertempuran Megara, dan bahwa dia adalah eromenos (remaja laki-laki yang dirayu oleh lelaki yang lebih tua) dari penyair dan negarawan Critias.
Glaucon juga direferensikan secara singkat di bagian awal dari dua dialog lainnya oleh adik laki-lakinya, Parmenides dan Simposium. Dia juga muncul lagi dalam Memorabilia karya filsuf Yunani kuno Xenophon.
Source | : | Greek Reporter |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR