Nationalgeographic.co.id–Aleksander IV dari Makedonia, putra Aleksander Agung yang legendaris, menjalani kehidupan singkat yang dibayangi oleh warisan besar ayahnya.
Aleksander Agung adalah salah satu pemimpin militer terhebat dalam sejarah dunia. Mendengar namanya saja, dapat membangkitkan gambaran tentang pertempuran epik, penaklukan besar, dan kepribadian yang lebih besar dari kehidupan.
Lahir di dunia yang penuh gejolak politik dan perebutan kekuasaan, keberadaannya melambangkan tantangan yang dihadapi Kekaisaran Makedonia setelah kematian Aleksander Agung.
Meskipun penaklukan ayahnya membentang dari Yunani hingga perbatasan India, kehidupan Aleksander IV terbatas pada intrik para pemimpin dan jenderal yang bersaing untuk mendapatkan kendali.
Kisahnya, walaupun singkat, memberikan gambaran sekilas yang tajam mengenai kompleksitas politik Helenistik dan rapuhnya pemerintahan dinasti.
Kematian Dramatis Aleksander Agung
Kematian mendadak Aleksander Agung pada tahun 323 SM di Babilonia mengirimkan gelombang kejutan ke seluruh Kekaisaran Makedonia yang luas.
Sang pemimpin, yang tidak pernah kalah dalam pertempuran dan mempunyai ambisi untuk melanjutkan penaklukannya, meninggalkan sebuah kerajaan tanpa rencana suksesi yang jelas.
Kematiannya yang tak terduga pada usia 32 tahun menimbulkan pertanyaan langsung tentang kepemimpinan masa depan wilayah yang telah ia kumpulkan.
Para jenderal dan administrator kekaisaran, yang secara kolektif dikenal sebagai Diadochi, berada dalam posisi berbahaya.
Diantaranya adalah tokoh-tokoh seperti Perdiccas, Ptolemy, Antigonus, dan Seleucus. Masing-masing mempunyai ambisi dan visinya sendiri terhadap kekaisaran, dan tidak adanya ahli waris yang jelas memperburuk ketegangan di antara mereka.
Saudara tiri Alexander, Philip III Arrhidaeus, yang menderita cacat mental, segera dinyatakan sebagai raja.
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR