Nationalgeographic.co.id - Pada hari yang terik di sebuah kota metropolitan, seperti biasanya, orang-orang berlalu lalang melakukan aktivitas rutin. Namun, tiba-tiba suara jeritan terdengar dari satu titik, dan segera menular ke sekitarnya.
Tak ada yang menyangka, bahwa segerombolan teroris berpisau belati telah berada di tengah-tengah kerumunan. Mereka adalah Sicarii, yang baru saja mengamuk dan memulai aksi kekerasan mengerikan.
Mungkin telah ditentukan siapa target utama yang akan dibunuh. Namun, Sicarii juga melakukannya kepada orang-orang di kerumunan secara acak.
Kini kecemasan nyaris tak dapat dihindari oleh masyarakat, bahkan menjelma menjadi darah yang mengalir dalam kerapuhan diri. Setiap jam, rasanya seperti sedang menunggu jatah kematian.
Kemunculan Sicarri
Sicarii merupakan kelompok fanatik Yahudi yang hidup pada abad Ke-1 Masehi. Kehadiran mereka bertujuan untuk mengusir orang-orang Romawi dan kolaboratornya dari Yudea.
Berbagai bentuk serangan dilancarkan oleh Sicarii, baik untuk menghancurkan musuh maupun menginspirasi orang lain untuk bangkit melawan penjajahan.
James J. Bloom, dalam buku “The Jewish revolts against Rome”, menjelaskan bahwa kelompok Sicarii ini memberontak dengan sangat keras dan memproklamasikan "tidak ada tuan di atas Tuhan,".
Perdebatan seputar peristiwa bersejarah yang berkaitan dengan Sicarii belum usai hingga hari ini–hampir 2.000 tahun kemudian.
Hal tersebut terutama disebabkan oleh fakta bahwa hampir semua informasi yang tercatat mengenai kelompok Sicarii berasal dari satu penulis, seorang jenderal Yahudi yang kemudian menjadi pembelot Romawi, Josephus.
Menurut penulis Dean Smith, dilansir dari laman History is Now Magazine, kaum Sicarii mendapatkan nama mereka dari jenis belati khas yang mereka gunakan, yang ukuran dan bentuknya mirip dengan kata Sica dalam bahasa Romawi.
“Hal ini sangat penting dari konteks sejarah karena kami tidak memiliki bukti bahwa kelompok ini pernah menyebut diri mereka sebagai Sicarii,” kata Smith.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR