Nationalgeographic.co.id—Kekaisaran Ottoman menjadi sebuah wadah peleburan multikultural dalam sejarah dunia. Pada puncak kejayaannya, wilayah kekuasaannya membentang dari barat laut Afrika hingga Teluk Persia, dari Laut Merah hingga Budapest.
Dari awal berdiri pada 1299 hingga ketika kekuasaannya berakhir pada tanggal 1 November 1922, sultan yang memegang kekuasaan. Banyak sultan yang merupakan pemimpin besar, pelindung seni, intelektual, dan reformis.
Namun, banyak dari para sultan di Kekaisaran Ottoman juga merupakan pemimpin yang paling haus darah dan keji selama tujuh abad terakhir.
Kisah tujuh sultan paling brutal dan sadis di Kekaisaran Ottoman bisa disimak di sini.
Mehmed II
Mehmed II—dikenal sebagai Mehmed sang Penakluk—dua kali menjabat sebagai sultan ketujuh Kekaisaran Ottoman.
Ia adalah negarawan yang kompeten dan fasih dalam lima bahasa. Sebagai sultan, Mehmed menetapkan standar pemerintahan despotik di Kekaisaran Ottoman. Tidak berperasaan dan menyendiri, dia makan sendirian dan memperlakukan pejabat puncaknya seperti budak.
Mengutip dari laman History, “Peran wazir agung (kepala menteri) bagi Mehmed berbahaya.” Dia memenggal setidaknya dua wazir agung tanpa peringatan apa pun.
Lima menit setelah menduduki takhta, ia memerintahkan agar adik laki-lakinya yang masih bayi ditenggelamkan di bak mandi. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan kebijakan pembunuhan saudara laki-laki yang umum dilakukan para sultan hingga awal abad ke-17. Kemudian, dia juga memerintahkan eksekusi terhadap penjaga yang telah menenggelamkan adik bayinya.
Pada musim semi 1453, pada usia 21 tahun, Mehmed merebut Kota Konstantinopel di Bizantium dan menjadikannya ibu kota kekaisaran. Ia mengizinkan pasukannya untuk menjarah kota jika mereka berhasil merebutnya.
Seluruh harta dan penduduk kota menjadi milik pasukan Medmed. Kota ini dijarah secara sistematis, perempuan diperkosa, gereja-gereja dinodai, dan penduduknya dibantai atau dijadikan budak.
Source | : | History |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR