Pada kunjungan pertamanya ke kepulauan ini, 25 tahun lalu, Adam Goodheart memutuskan untuk melakukan perjalanan, secara bodoh dan ilegal, ke pantai Sentinel Utara. (Perairan di sekitarnya sangat terlarang dan dipatroli secara teratur oleh penjaga pantai dan angkatan laut India.) Adam membayar beberapa nelayan lokal di Pulau Andaman Selatan—yang berpenduduk 200.000 jiwa, hampir semuanya merupakan imigran dari daratan India—untuk membawanya menyeberangi perairan di perahu motor kecil mereka di bawah naungan kegelapan.
Mereka tiba saat fajar di perairan dekat karang Sentinel Utara, melihat sekilas tiga orang Sentinel berdiri di bawah kanopi hutan, dan menyaksikan dua pria mengelilingi laguna dengan kano mereka. Saat Adam mengambil foto dan menulis catatan, pemandunya mengalihkan perhatiannya.
Puting beliung dan tembok awan hitam bergerak menuju ke arah mereka. Setelah lima jam, kami berhasil kembali ke Andaman Selatan, tetapi badai monsun yang tiba-tiba itu hampir menenggelamkan mereka. Untungnya, mereka kembali dari petualangan mereka tepat waktu untuk makan siang.
Saat melakukan perjalanan ke Andaman (tetapi bukan Sentinel Utara) baru-baru ini, Adam tiba dengan jet Air India berkapasitas 200 penumpang yang dipenuhi turis, salah satu dari 10 penerbangan harian dari daratan. Wisatawan dapat menikmati resor pantai dan spa yang memiliki 72 bungalow mewah—sebagian besar punya kolam renang pribadi—yang konon terinspirasi oleh pondok pribumi Andaman.
Meski masyarakat Sentinel tak dapat melihat pondok-pondok ini dari pemukiman mereka sendiri, mereka mungkin bisa melihat kabut abu-abu kekuningan yang menyelimuti Port Blair, ibu kota administratif kepulauan tersebut. Mereka pasti dapat melihat jet penumpang, yang lewat cukup dekat sehingga wisatawan menempelkan wajah dan ponsel mereka ke jendela demi mengambil foto untuk Instagram.
Tentu suku Sentinel itu, para pemburu-pengumpul yang bermata tajam, telah mengamati dunia luar dengan penuh perhatian seperti halnya dunia luar mengamati mereka. Bahkan mungkin lebih dari itu, mengingat perahu dan mesin terbang kita kini sudah menjadi bagian yang akrab dengan lingkungan mereka.
Di pulau-pulau lain di Andaman, saya menemukan pantai-pantai yang dulunya masih asli dibanjiri sampah negara-negara terdekat: sandal jepit yang hilang, aplikator tampon, dan ratusan botol air. Pastinya sampah-sampah itu juga sampai ke pantai Sentinel Utara.
Antropolog India Vishvajit Pandya, yang melakukan beberapa perjalanan perahu pada tahun 2000-an untuk mengamati suku Sentinel dari jarak aman, menceritakan kepada Adam bahwa dia pernah melihat beberapa penduduk pulau menggunakan terpal plastik biru, mungkin dijatuhkan dari perahu yang lewat, sebagai atap untuk pondok mereka.
Kenyataannya adalah kita, delapan miliar penduduk bumi lainnya, sudah melakukan pelanggaran tak terelakkan terhadap suku Sentinel, tanpa henti dan sembrono seperti penjajah imperial mana pun. Perubahan iklim, penangkapan ikan berlebihan, polusi, dan sampah plastik akan terus menghancurkan tanaman dan hewan yang dibutuhkan masyarakat Sentinel untuk bertahan hidup.
Sampai sekarang mistik pulau kecil ini—dan jejak digitalnya yang terlalu besar—tak menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Setidaknya untuk saat ini, isolasi Sentinel Utara membawa maksud urgen tak hanya bagi penduduk pulau itu, tetapi juga bagi kita semua.
Keterpencilan sempurna tempat itu, tak terikat dengan ruang dan waktu biasa, adalah fantasi kita untuk menghibur diri sendiri: Selama suku Sentinel masih ada, kita bisa mengatakan pada diri kita bahwa planet kita, sampai tingkat tertentu, tak dapat diganggu gugat.
Penduduk Kepulauan Andaman telah lama menjadi salah satu komunitas manusia paling disalahpahami di dunia: dieksotiskan, difetiskan, dan dibenci. Meski Marco Polo belum pernah mengunjungi kepulauan itu, pada abad ke-13 ia menggambarkan penduduk kepulauan tersebut sebagai “ras paling brutal dan buas, punya kepala, mata, dan gigi seperti anjing. Mereka sangat kejam dan membunuh serta memakan setiap orang asing yang mereka temui.”
Sekitar 600 tahun kemudian, Arthur Conan Doyle menampilkan seorang pria pribumi Andaman—“seorang kerdil tak bermoral” dengan “mata mengancam penuh benci”—sebagai tokoh antagonis pembunuh dalam novel Sherlock Holmes, The Sign of the Four.
Orang Andaman terus menarik perhatian para ahli teori rasial Eropa hingga abad ke-20. Baron Egon Rudolf Ernst Adolf Hans Dubslaff von Eickstedt, seorang antropolog Jerman pemakai monokel yang karyanya mengenai “kebersihan ras dan eugenika” memengaruhi Nazi, mengunjungi Kepulauan Andaman pada 1920-an. Setelah itu, ia menggolongkan penghuninya sebagai manusia “tipe simpanse primitif”.
Sejatinya, suku Andaman sama sekali tak primitif. Dalam beberapa dekade terakhir, budaya kompleks penduduk pulau ini telah didokumentasikan oleh antropolog India Vishvajit Pandya. Misalnya, orang Andaman menciptakan seni tubuh yang sangat kaya: teks sejarah rumit yang ditulis pada kulit dengan desain lukisan dari oker dan tanah liat putih, yang terus-menerus dihapus dan dibuat ulang seiring dengan perubahan kebutuhan dan keadaan pemiliknya, serta skarifikasi ritual yang tetap tak terhapuskan seumur hidup. Dalam pola-pola ini tertulis elegi dan epos kepulauan itu.
Dan meski masyarakat Andaman telah difitnah selama berabad-abad karena dituduh melakukan kanibalisme dan pengayauan, orang-orang Inggrislah yang terkadang kembali dari “ekspedisi hukuman” pada 1920-an dan 30-an dengan membawa kepala penduduk pulau yang terpenggal sebagai piala. Saat ini populasi penduduk asli Andaman—termasuk suku Sentinel—hanya berjumlah beberapa ratus orang. Sebelum kolonisasi, setidaknya ada 10 kali lipatnya.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR