Meskipun pada awalnya menjanjikan banyak hal, VOC, yang dirusak oleh korupsi internal dan persaingan perdagangan dan militer yang sengit dari Inggris dan Prancis, tidak bertahan lama. Kekuasaan perusahaan ini bubar pada tahun 1789, menyerahkan kendali wilayahnya kepada pemerintah Belanda.
Pada akhir abad kesembilan belas, sejumlah besar laki-laki Maluku (terutama umat Kristen dari Pulau Ambon) mulai bertugas di tentara kolonial Belanda, Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL), sebuah kekuatan yang mengkonsolidasikan dan memperkuat kendali pemerintahan Belanda atas Hindia.
Perekrutan tentara Maluku merupakan bagian cerdik dari strategi kolonial Belanda yang berupaya 'memecah belah dan menaklukkan' Hindia. Mereka memberikan orang-orang Maluku status sosial dan pendidikan yang lebih tinggi bagi anak-anak mereka sebagai imbalan atas pengabdian militer yang setia dari tentara Maluku yang menegakkan kolonialisme Belanda.
Jaap Wijnhoud, penasihat tingkat tinggi perdana menteri Belanda untuk hubungan minoritas mengakui, "kami memerintah mereka dengan sangat kasar... Kami memang mempunyai sejarah kolonial yang buruk. Kami mengadu domba kelompok yang satu dengan kelompok yang lain."
KNIL lebih merupakan pasukan polisi dibandingkan organisasi militer, yang lebih berupaya menegakkan hukum dan ketertiban di dalam negeri dibandingkan mempertahankan negara dari serangan asing. Hal ini menjadi sangat jelas ketika Jepang menyerang Hindia Belanda seiring pecahnya Perang Dunia II pada awal tahun 1940-an.
“KNIL bukanlah tandingan musuh tersebut,” menurut Wim Manuhuttu, direktur Museum Sejarah Maluku di Utrecht, sekitar lima puluh mil tenggara Amsterdam. Setelah dua bulan berperang, KNIL menyerah kepada Jepang.
Setelah mengambil kendali atas Hindia Belanda, “Jepang dengan cepat menampilkan diri mereka sebagai pembebas Indonesia melawan kolonialisme kulit putih,” menurut Manuhuttu. Memainkan kebencian orang Indonesia terhadap kolonialisme Belanda selama berpuluh-puluh tahun, Jepang “membedakan antara orang Indonesia lainnya dengan orang Ambon Kristen yang dipandang sebagai asisten, kroni, tangan besi Belanda.
Ada banyak pembunuhan dan penyiksaan yang dilakukan (terhadap orang Maluku) oleh polisi rahasia Jepang." Kaum nasionalis Indonesia bekerja sama dengan pemerintah Jepang, yang memberi mereka kebebasan dalam menjalankan urusan dalam negeri Indonesia.
Pada tahun 1944, ketika sudah jelas bahwa Jepang pada akhirnya akan kalah perang, kaum nasionalis Indonesia bergegas untuk memperoleh kemerdekaan sebelum Belanda dapat memulihkan sistem kolonial mereka di kepulauan tersebut. Dua hari setelah Jepang menyerah pada tanggal 15 Agustus 1945, kaum nasionalis memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia dengan Sukarno sebagai presidennya.
“Maka,” menurut Manuhuttu, “satu perang berakhir dan perang lainnya dimulai,” yang merupakan 'Perang Dekolonisasi' yang mempertemukan kaum nasionalis Indonesia, terutama dari pulau Jawa di Indonesia tengah, melawan Belanda, yang didukung oleh orang-orang Maluku.
Setelah beberapa tahun mengalami kegagalan dan perjuangan gerilya yang sengit, Belanda, yang tertekan oleh sikap anti-kolonialisme Amerika Serikat dan PBB pascaperang yang kuat, akhirnya merundingkan pembentukan negara federal yang merdeka di Indonesia pada tahun 1949. Perjanjian dari Konferensi Meja Bundar menjamin otonomi yang cukup besar bagi masing-masing negara bagian Indonesia serta kepentingan komersial Belanda di Batavia.
Namun negara federalis ini hanya bertahan beberapa bulan, ketika kaum nasionalis Indonesia menghapuskan sistem pembagian kekuasaan federalis dan menggantinya dengan pemerintahan kesatuan yang didominasi oleh Pulau Jawa.
Kobarkan Semangat Eksplorasi, National Geographic Apparel Stores Resmi Dibuka di Indonesia
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR