Salah satu reaksi terhadap kerasnya nasionalisme Indonesia (Jawa), perasaan nasionalis di kalangan masyarakat Maluku juga meningkat. Selama perang, banyak warga Maluku yang sangat menderita di tangan penjajah Jepang, sementara kaum nasionalis Indonesia bekerja sama dengan Jepang.
Masing-masing kelompok saling menyalahkan karena berkolaborasi dengan musuh. Karena keikutsertaan mereka dalam operasi militer melawan Republik Indonesia yang masih muda, orang-orang Maluku disebut 'Belanda Hitam', 'anjing pelacak orang kulit putih' dan 'pengkhianat' oleh orang Indonesia.
“Setelah Indonesia mengubah struktur federal Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia [sehingga memaksakan kendali Jawa atas seluruh Indonesia], kaum nasionalis Maluku memutuskan untuk mengambil nasib mereka sendiri”, kata Wim Manuhuttu.
"Dan pada tanggal 25 April 1950 mereka memproklamasikan Republik Maluku Selatan (RMS), merdeka penuh dari Indonesia,” imbuhnya. Namun kemerdekaan Maluku tidak akan bertahan lama, karena pasukan Indonesia dengan cepat menyerbu pulau-pulau tersebut, merebut kota-kota dan instalasi serta memaksa RMS melakukan perang gerilya yang berdarah-darah.
Ketika peristiwa dramatis ini terjadi di wilayah barat Maluku, Belanda mendemobilisasi tentara kolonialnya. “Tentara eks KNIL asal Maluku yang ditempatkan di Jawa dan Sumatra merupakan hal yang memalukan bagi pemerintah Belanda karena mereka dianggap kolaborator dengan Belanda. Dan karena pihak Indonesia tidak mengizinkan mereka kembali ke Maluku selama perang masih berlangsung, pemerintah Belanda memutuskan untuk membawa mantan prajurit KNIL asal Maluku itu ke Belanda, dengan tujuan agar mereka kembali ke Maluku beberapa bulan kemudian," papar Manuhuttu.
Ironisnya, pemerintah Belanda menempatkan hampir 4.000 tentara bersama istri dan anak-anak mereka (total sekitar 12.500 orang) di bekas kamp konsentrasi Jerman seperti Westerbork dan kamp Vught. Masyarakat Maluku tidak didorong untuk mencari pekerjaan karena serikat pekerja di Belanda khawatir hal itu akan menurunkan upah pekerja Belanda.
Selain itu, masa tinggal mereka dipandang hanya sementara. Belanda maupun orang Maluku sendiri tidak berniat untuk berintegrasi ke dalam masyarakat Belanda pada saat itu.
“Dipaksa bermalas-malasan, diisolasi di kamp, status militernya dirampok, dihadapkan pada iklim yang berbeda dan berjuang dengan masalah bahasa, tidak ada yang tersisa bagi mereka selain hanyut dalam harapan, ingatan, dan mitos mereka. Salah satu mitos ini adalah RMS, negara bagian Maluku yang merdeka. Mereka mulai mendasarkan identitasnya pada cita-cita RMS. Melalui demonstrasi damai dan petisi mereka mencoba menggerakkan opini publik untuk mendukung kemerdekaan Maluku."
Aksi demostrasi secara damai ini tidak membuahkan hasil. Lalu aksi yang lebih keras dilakukan oleh generasi kedua orang Maluku di Belanda.
Charley Behoekoe Nam Radja, generasi kedua orang Maluku selatan yang bekerja untuk FORUM, sebuah lembaga pengembangan multikultural di Belanda, mengatakan, “Saya dibesarkan untuk kembali ke Maluku oleh orang tua saya. Saya dididik menjadi orang Maluku di Belanda. Saya tinggal di Belanda hanya sementara.” Rasa nasionalisme Maluku yang kuat ditanamkan pada generasi kedua, dan seiring berjalannya waktu, generasi kedua ini semakin tidak sabar.
Terinspirasi oleh pertumbuhan pesat gerakan-gerakan radikal di seluruh dunia, terutama gerakan Black Panthers di Amerika Serikat dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), semakin banyak generasi muda di Maluku yang mulai melihat kekerasan sebagai cara untuk menarik perhatian dunia terhadap penderitaan mereka. Atau dalam kata-kata Dr. Steijlen, "memaksa penyelesaian kebuntuan."
Profesor A. Köbben dari Leiden University, anggota Komisi Penasihat Masyarakat Maluku Selatan di Belanda pada tahun 1970 menceritakan bahwa “generasi kedua masyarakat Maluku di Belanda mengagumi Che Guevara, Black Panthers, dan Yasser Arafat. Mereka melihat bahwa penggunaan kekerasan untuk menarik perhatian komunitas internasional berhasil."
Pada awal tahun tujuh puluhan, sekelompok kecil ekstremis muda di Maluku beralih ke kekerasan. Serangan pertama mereka terjadi pada tanggal 31 Agustus 1970, ketika tiga puluh tiga warga Maluku menduduki kediaman Duta Besar Indonesia di Wassenaar (pinggiran kota Den Haag) untuk memprotes pengumuman bahwa diktator represif Indonesia berencana datang ke Belanda. “Hal ini dianggap sebagai penghinaan terbesar bagi masyarakat Maluku di Belanda jika Presiden Soeharto mengunjungi Belanda,” menurut Dr. Manuhuttu.
Dini hari tanggal 31 Agustus 1970, ke-33 orang tersebut memaksa diri membawa senjata berat ke dalam kediaman dan membunuh seorang polisi Belanda. “Bukan niat mereka untuk membunuh orang ini, tetapi seluruh tindakannya ditandai dengan banyak kesalahpahaman dan kesalahan,” menurut Manuhuttu.
Meskipun demikian, pemerintah Belanda tidak bereaksi, dan lima tahun kemudian, pada tahun 1975, tujuh warga Maluku yang berusia 19-25 tahun memutuskan untuk menyerang konsulat Indonesia di Amsterdam. Dan untuk pertama kalinya, sekelompok pemuda Maluku membajak sebuah kereta penumpang dekat Assen di timur laut Belanda untuk memaksa tindakan pemerintah Belanda mendorong kemerdekaan di Maluku.
Tiga warga sipil dibunuh oleh teroris untuk menekan pemerintah Belanda agar segera bernegosiasi. Para pemuda tersebut mengirimkan pernyataan yang menuntut rakyat dan pemerintah Belanda agar mereka mendukung tuntutan mereka "demi perdamaian dan kepercayaan rakyat Maluku yang tertindas dan demi perdamaian di dunia".
Pesan mereka diakhiri dengan referensi ke masa lalu kolonial Belanda. Mereka menyerukan, "Jika ada orang Belanda yang tidak bersalah terbunuh demi perjuangan Maluku, jangan sampai orang-orang Belanda lupa bahwa di masa lalu beribu-ribu orang Maluku telah berkorban."
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR