Nationalgeographic.co.id—Dari mumi firaun hingga Piramida Agung Giza, ikonografi Mesir kuno mendominasi dunia modern.
Namun hanya sedikit yang menyadari bahwa Mesir kuno meninggalkan warisan lain: pajak dan prinsip-prinsip pemerintahan administratif. Dalam sejarah Mesir kuno, masyarakat pun harus membayar pajak.
Sistem perpajakan paling awal di dunia muncul di Mesir pada awal mula peradaban itu sendiri, sekitar tahun 3000 SM. Saat itu Dinasti Pertama menyatukan Mesir Hilir dan Mesir Hulu. Mesopotamia kuno segera menyusul.
“Praktik ini bertahan selama ribuan tahun, berlanjut setelah jatuhnya Mesir kuno pada abad pertama SM,” tulis Kate McMahon di laman The Collector.
Meskipun sistem perpajakan Mesir kuno berevolusi dan terdiversifikasi seiring berjalannya waktu, konsep dasarnya tetap sama.
Kerajaan memungut pajak untuk membiayai operasionalnya dan menjaga ketertiban sosial. Lagi pula, bangsa Mesir kuno selalu mempunyai proyek pembangunan kerajaan dan perang asing yang harus dibiayai.
Warisan pemerintahan Mesir kuno dan beragam sistem perpajakan sangat terlihat dalam bentuk pemerintahan modern. Mulai dari pajak penghasilan hingga pajak bea cukai, kata Toby Wilkinson, Egyptologist di Universitas Cambridge.
Dalam sebagian besar sejarahnya, Mesir kuno memungut pajak atas barang-barang. Di masa itu, para pejabat memungut iuran dalam bentuk gandum, tekstil, tenaga kerja, ternak, dan komoditas lainnya.
Jumlah utang pajak sering kali dikaitkan dengan pertanian. Persentase tertentu dari hasil panen suatu ladang dialokasikan untuk lumbung pemerintahan.
Sungai Nil menjadi acuan untuk pembayaran pajak dalam sejarah Mesir Kuno
Pajak disesuaikan dengan produktivitas lapangan dengan berbagai kategori yang ditetapkan berdasarkan jumlah kekayaan yang dihasilkan.
“Umumnya, lahan yang panennya lebih berhasil akan dikenakan pajak dengan persentase lebih tinggi,” kata Juan Carlos Moreno García, peneliti senior di Pusat Penelitian Ilmiah Nasional Prancis.
Source | : | The Collector |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR