“Kami sangat mengagumi kemampuannya sebagai penyair, cendekiawan, dan seniman. Dia ahli kaligrafi yang hebat,” kata Hashiba. Prestasi Kukai di kehidupan nyata berubah menjadi legenda dan akhirnya memopulerkan rute saat ini.
Bagian sepanjang 6,4 km dari Kuil 20 hingga Kuil 21 dipenuhi dengan pohon cemara, kayu cedar, dan bambu setinggi katedral. Batu-batu besar yang dirangkai dengan tali, perwujudan para dewa, menemani peziarah. Begitu pula patung batu berhiaskan warna merah terang, yang disebut jizo, yang merupakan penjaga anak-anak dan pelancong.
Kukai, yang juga disebut Kobo Daishi, juga ada di sini. Ia dipersonifikasikan dalam tongkat berjalan peziarah yang bertuliskan kata-kata yang berarti “bepergian bersama”.
“Saat saya berjalan, terkadang saya berpikir terlalu banyak, tapi saya terus berjalan. Dan kemudian saya tidak memikirkan apa pun—dalam arti yang baik,” kata Tomoko Imaizumi kepada Norie Quintos di National Geographic. Imaizumi adalah seorang pemandu yang telah melakukan ziarah sebanyak empat kali.
Di Kuil Naga Agung (21) mudah untuk melihat mengapa begitu banyak agama membangun altar mereka di atas gunung. Dalam tulisannya, Kukai mengaku pernah mendaki puncak bukit dan melantunkan mantra jutaan kali. Terlepas dari ketidakjelasan ajaran Buddha Shingon, intinya adalah bahwa segala sesuatu adalah bagian dari keseluruhan kosmis. Dan pencerahan dapat dicapai oleh orang-orang biasa.
“Saya mendapat banyak berkah dari Henro,” kata Kizumi, wanita yang ditemui oleh penulis di di Kuil 6 (Kuil Kegembiraan Abadi).
Budaya kebaikan di jalur kuno
Memang benar, para peziarah di sepanjang jalan selalu berbicara tentang kebaikan penduduk setempat. Inilah budaya osettai, ciri unik ziarah Shikoku.
“Saya mengalami hal ini hampir setiap hari sebagai peziarah,” kata Imaizumi. “Biasanya itu jeruk mandarin atau manisan. Suatu kali seorang wanita menghentikan mobilnya dan melompat keluar untuk memberi saya 300 yen.”
Dekat dengan Kuil Puncak Hering (1), kelompoknya bertemu Ranshu Yano, ahli seni ai-zome yang semakin berkurang. Wilayah Tokushima menghasilkan nila alami untuk pewarnaan. Tekstil nila pernah digunakan dalam pakaian samurai.
Yano mengundang untuk berkunjung ke bengkelnya untuk menyaksikan sebagian dari proses yang melelahkan. Dia membuka tutup tong besar. Rebusan biru perlu diperiksa, diaduk, dan dibiarkan berfermentasi.
“Itu adalah makhluk hidup,” katanya sambil mengangkat tangan birunya secara permanen. “Saya harus merasakannya.” Tekstil yang sudah jadi dibuat menjadi kimono yang indah.
Di Henro, hadiah datang dalam berbagai bentuk. Salah satunya adalah kesempatan untuk berhubungan dengan orang-orang yang masih terikat dengan tanah, seni, dan tradisi yang ditinggalkan di tempat lain.
“Orang-orang telah melakukan apa yang saya lakukan selama seribu tahun,” kata Yano. “Saya berdiri di tengah, antara masa lalu dan masa depan.”
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR