Nationalgeographic.co.id—Ada yang mengatakan dia adalah seorang ahli bedah. Yang lainnya, orang gila yang gila—atau mungkin tukang daging, pangeran, artis, atau hantu. Pembunuh yang dikenal dalam sejarah sebagai Jack the Ripper meneror London 135 tahun yang lalu.
Namun bagi lima wanita, Jack the Ripper bukanlah hantu legendaris atau karakter dari novel detektif. Dialah orang yang mengakhiri hidup mereka secara mengerikan.
“Jack the Ripper adalah orang sungguhan yang membunuh orang sungguhan,” tegas sejarawan Hallie Rubenhold, yang bukunya, The Five. Buku tersebut menceritakan kehidupan para korbannya. “Dia bukan seorang legenda.”
Siapa wanita-wanita korban Jack the Ripper itu? Mereka punya nama: Mary Ann “Polly” Nichols, Annie Chapman, Elizabeth Stride, Catherine Eddowes, dan Mary Jane Kelly. Para korban malang tersebut juga mempunyai harapan, orang-orang terkasih, teman-teman, dan, dalam beberapa kasus, anak-anak.
Kehidupan mereka, masing-masing unik, menceritakan kisah London abad ke-19. Di masa itu, London adalah kota yang mendorong mereka ke pinggiran dan lebih memperhatikan mereka yang mati alih-alih yang hidup.
Teror di Whitechapel
Kisah-kisah mereka tidak semuanya dimulai di London, namun berakhir di sana. Di dalam dan di sekitar sudut kota metropolitan yang dikenal sebagai Whitechapel, sebuah distrik di East End London.
“Mungkin tidak ada tempat seperti ini di seluruh dunia. Selain di kota besar London Timur yang luas, terabaikan, dan terlupakan ini,” tulis Walter Bessant dalam novelnya All Sorts and Conditions of Men. “Kota ini bahkan diabaikan oleh warganya sendiri, yang belum pernah merasakan kondisi mereka yang ditinggalkan.”
Warga Whitechapel yang “terbengkalai” termasuk beberapa warga termiskin di kota tersebut. Imigran, buruh lepas, keluarga, perempuan lajang, pencuri. Mereka semua tinggal bersama di rumah petak, permukiman kumuh, dan rumah kerja yang melimpah.
Menurut sejarawan Judith Walkowitz, “Pada tahun 1880-an, Whitechapel melambangkan penyakit sosial 'Outcast London'. Outcast London merupakan sebuah tempat di mana dosa dan kemiskinan muncul dalam imajinasi zaman Victoria, sehingga mengejutkan kelas menengah.
Whitechapel berubah menjadi adegan horor ketika tubuh Polly Nichols yang tak bernyawa dan dimutilasi ditemukan di jalan yang gelap. Ia ditemukan pada dini hari tanggal 31 Agustus 1888. Polly menjadi yang pertama dari lima korban kanonik Jack the Ripper. Lima korban itu menjadi kelompok inti wanita yang pembunuhannya tampaknya berkaitan dan terjadi dalam kurun waktu singkat.
Pada bulan berikutnya, tiga perempuan lagi yang terbunuh ditemukan di jalan-jalan East End. Mereka dibunuh dengan cara yang sama: leher mereka disayat, dan, dalam banyak kasus, isi perutnya dikeluarkan. Beberapa organ korban telah diambil. Pembunuhan kelima terjadi pada tanggal 9 November, ketika Ripper membantai Mary Jane Kelly dengan sangat biadab. Korban malang itu hampir tidak bisa dikenali.
Apa yang disebut “Musim Gugur Teror” ini membuat Whitechapel dan seluruh kota menjadi panik. Identitas misterius si pembunuh berantai semakin memperparah drama tersebut. Pers membuat sensasional atas pembunuhan yang sangat mengerikan ini, termasuk tentang kehidupan para wanita yang dibunuh.
Polly, Annie, Elizabeth, Catherine, dan Mary Jane
Meskipun selalu dikaitkan dengan cara kematian mereka, kelima wanita yang dibunuh oleh Jack the Ripper memiliki kesamaan lain. Mereka termasuk penduduk paling rentan di London, hidup dalam masyarakat pinggiran di masyarakat Victoria. Para wanita itu menjalani kehidupan di East End, keluar-masuk rumah kerja untuk melakukan pekerjaan sambilan.
Mereka menggadaikan sedikit harta benda mereka untuk membeli tempat tidur selama satu malam di rumah penginapan. Jika mereka tidak dapat mengumpulkan koin-koin tersebut, mereka hanya akan tidur di jalanan.
“Tidak ada seorang pun yang peduli tentang siapa perempuan-perempuan ini,” kata Rubenhold. “Hidup mereka sangat berbahaya.”
Polly Nichols sangat memahami keadaan genting. Lahir pada tahun 1845, ia memenuhi cita-cita Victoria tentang wanita yang baik saat menjadi seorang istri pada usia 18 tahun. Namun setelah melahirkan lima anak, ia akhirnya meninggalkan suaminya karena dicurigai melakukan perselingkuhan. Alkohol menjadi penopang sekaligus kutukan baginya di tahun-tahun terakhir hidupnya.
Alkohol juga mempercepat keterasingan Annie Chapman dari kehidupan yang dianggap terhormat. Chapman lahir pada tahun 1840 dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di London dan Berkshire. Dengan pernikahannya dengan John Chapman, seorang kusir, pada tahun 1869, Annie memposisikan dirinya di tingkat teratas kelas pekerja. Namun kecintaannya terhadap alkohol dan kehilangan anak-anaknya mengacaukan kehidupan keluarganya. Dan Annie pun berakhir di East End.
Elizabeth Stride, kelahiran Swedia, adalah seorang imigran, seperti ribuan orang lainnya yang tinggal di East End. Lahir pada tahun 1843, ia datang ke Inggris saat berusia 22 tahun. Di London, Stride berkali-kali mengubah dirinya, menjadi seorang istri dan pemilik kedai kopi.
Catherine Eddowes, lahir di Wolverhampton pada tahun 1842 dan pindah ke London saat masih kecil. Ia kehilangan kedua orang tuanya saat dia berusia 15 tahun. Eddowes menghabiskan sebagian besar masa dewasanya dengan seorang pria, yang menjadi ayah dari anak-anaknya. Sebelum pembunuhannya, dia baru saja kembali ke London setelah mengunjungi Kent. Kunjungan itu merupakan ritual musim panas yang populer bagi warga kelas pekerja London.
Pada usia 25, Mary Jane Kelly adalah korban Ripper yang termuda dan paling misterius. Kelly dikabarkan mengaku berasal dari Irlandia dan Wales sebelum menetap di London. Dia mempunyai sedikit kemewahan yang tidak dimiliki orang lain. Kelly menyewa kamar yang dilengkapi tempat tidur. Namun kamar itulah yang menjadi tempat pembunuhannya.
Ada keyakinan lama bahwa semua perempuan ini adalah pekerja seks. Tapi itu hanyalah sebuah mitos, seperti yang ditunjukkan Rubenhold dalam The Five. Hanya dua dari perempuan tersebut—Stride dan Kelly—yang diketahui pernah melakukan pekerjaan seks selama hidup mereka. Fakta bahwa mereka dianggap sebagai pekerja seks menyoroti bagaimana masyarakat Victoria memandang perempuan miskin yang tidak memiliki tempat tinggal.
“Mereka secara sistematis dikucilkan dari masyarakat,” kata Rubenhold, meskipun “begitulah cara hidup mayoritas.”
Wanita-wanita ini adalah manusia dengan rasa kepribadian yang kuat. Menurut penulis biografi Robert Hume, teman dan tetangga mereka menggambarkan mereka sebagai orang yang rajin, riang, dan sangat bersih. Mereka hidup, mereka mencintai, mereka ada—sampai, tiba-tiba pada suatu malam yang gelap di tahun 1888, mereka menghilang.
Bayangan yang panjang
Penemuan jenazah Annie Chapman pada tanggal 8 September meningkatkan kepanikan di London. Karena luka-lukanya mencerminkan kebrutalan yang mengejutkan dari pembunuhan Polly Nichols beberapa hari sebelumnya. Penyelidik menyadari bahwa pembunuh yang sama kemungkinan besar melakukan kedua kejahatan tersebut. Dan dia masih buron. Siapa yang akan dia serang selanjutnya?
Pada akhir September, Kantor Berita Pusat London menerima surat bertinta merah yang mengaku berasal dari si pembunuh. Surat itu ditandatangani “Jack the Ripper.” Surat kabar di seluruh kota mengambil nama itu dan memuatnya. Liputan pers tentang Pembunuhan Whitechapel mencapai puncaknya. Surat kabar membedakan antara fakta dan fiksi. Semuanya menceritakan setiap detail kejahatan yang mengerikan dan berspekulasi dengan liar tentang identitas si pembunuh.
Saat ini, dorongan tersebut bertahan, dan para detektif serta penyelidik profesional mengajukan serangkaian tersangka yang tak ada habisnya. Termasuk artis Walter Sickert, penulis Lewis Carroll, pelaut Carl Feigenbaum, dan Aaron Kosminski, seorang tukang cukur East End.
Ketertarikan yang terus berlanjut untuk membuka kedok si pembunuh melanggengkan gagasan bahwa Jack the Ripper adalah sebuah permainan, kata Rubenhold.
Pembunuhan Whitechapel masih belum terpecahkan setelah 135 tahun dan Rubenhold yakin hal itu tidak akan pernah berubah. “Kami tidak akan menemukan apa pun yang secara pasti memberi tahu siapa Jack the Ripper itu.” Sebaliknya, pembunuhan tersebut memberi tahu kita tentang nilai-nilai abad ke-19—dan abad ke-21.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR