Nationalgeographic.co.id—Upaya pelestarian alam sangat memerlukan peran agama. Dalam ajaran Islam, manusia adalah pemimpin atau wakil dari Tuhan (khalifah) di bumi yang dapat mengelola alam dengan bijak, memperhitungkan keseimbangan antara kebutuhan dirinya dan alam.
Islam pun melarang manusia berbuat kerusakan bumi, sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur'an surah Al-A'raf ayat 56. Ayat itu dengan tegas menyebut "...jangalah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya..."
Sebenarnya, ada banyak pesan menjaga pelestarian alam yang disampaikan secara tersirat. Habib Husein Ja'far Al Hadar memisalkan kisah tentang Nabi Adam dan Hawa memetik buah khuldi sehingga dikeluarkan dari surga.
"Sehingga, kalau ada orang yang membayangkan masuk surga, padahal dia menebang pohon secara ilegal, maka itu adalah mimpi siang bolong," ujarnya saat ditemui usai tausiyah halalbihalal karyawan Kompas Gramedia di Bentara Budaya Jakarta, 8 Mei 2024.
"Cerita-cerita para rasul, cerita-cerita kekasih Allah, pengikut Nabi, itu semua kisah tentang orang yang berjuang bukan hanya untuk manusia, tetapi berjuang untuk lingkungan hidup, baik itu hewan, tumbuhan, dan lain sebagainya," lanjutnya.
"Modernisme itu menguasai dunia kurang lebih tiga abad. Tapi kerusakannya jauh lebih buruk dari ketika dunia dipimpin oleh agama selama belasan abad sebelumnya. Itu menunjukkan bahwa agama sebenarnya memiliki modal besar untuk berkontribusi bagi lingkungan hidup."
Husein mengutarakan bahwa spiritualitas Islam memandang bahwa segala hal yang ada di muka bumi adalah makhluk hidup yang "senantiasa bertasbih kepada Allah". Islam memandang bahwa tidak ada ciptaan Tuhan yang sia-sia di muka bumi. Oleh karena itu, manusia harus bersikap baik kepada benda sekecil apa pun.
Sudah menjadi keharusan bagi seorang muslim untuk menyadari bahwa apa pun yang ada di alam, baik benda maupun makhluk hidup untuk selalu dijaga dari kerusakan. Husein menguraikan, segala ciptaan Tuhan adalah tanda keberadaan, kebesaran, keindahan, dan kekuasaan Tuhan.
"Kalau kita tidak jaga, berarti kita menghapus salah satu tanda tuhan di muka bumi. Karena itu, di Islam diajarkan bagaimana kita bersikap bagi terhadap lingkungan," tegas Husein.
Kawasan Konservasi ala Islam
Tidak hanya sebagai perintah dalam agama, Nabi Muhammad (570–632 M) pun pernah mengupayakan pelestarian lingkungan mulai dari penetapan kawasan konservasi yang dilarang untuk dimanfaatkan manusia, hingga menyayangi satwa.
Baca Juga: Kearifan Lokal Papua: Peraturan Adat Byak Karon untuk Konservasi Laut
Penetapan kawasan konservasi sebagai upaya pelestarian alam perspektif Islam dikenal dengan hima. Peneliti Malaysia Abdul Basir Mohamad dalam makalah "Konsep Hima dalam Islam dan Hubungannya dengan Pemeliharaan Alam Sekitar tahun 2018" yang menelusuri pelbagai hadis, konsep hima sudah ada pada masyarakat Arab pra-Islam. Nabi Muhammad mengembangkan konsep ini.
Hima adalah "tanah milik umum untuk kepentingan nasional yang harus dikukuhkan dan disebut sebagai milik umum," terang Abdul. Tanah ini milik umum sehingga kawasan penting tersebut terjaga sekaligus "menjamin keseimbangan dan keharmonisan kehidupan manusia dan habitat lainnya."
Dalam peraturannya, Nabi Muhammad melarang bagi siapa pun mendirikan bangunan di kawasan hima, termasuk mengambil rumut dan air. Peraturan ini tidak ada sebelum Islam pada masyarakat Arab. (Sahabat dapat menyimak lebih lengkap tentang hima dalam artikel "Hima: Konsep Kawasan Konservasi Lingkungan Menurut Ajaran Islam.)
Salah satu kisah yang cukup dikenal dari kalangan pendakwah Islam adalah tentang berpindahnya keturunan Nabi Muhammad (habib) dari Basrah, Irak ke Hadramaut, Yaman. Hadramaut bukanlah lingkungan yang layak untuk tinggal.
Hadramaut adalah gurun, bebatuan gersang, pegunungan dan lembah yang terjal. Lingkungan mematikan ini, konon, menjadi asal mula etimologi nama daerah tersebut sebagai tempat yang membawa maut, atau kedatangan maut (hadhr-mawt).
Husein menyebutkan para habib yang pindah ke Hadramaut berupaya untuk bertahan hidup. "Salah satu yang dilakukan oleh mereka (para habib) adalah konservasi lingkungan," urainya Husein. "Mereka membangun lingkungan itu agar menjadi layak untuk dihidupi dan sekarang menjadi salah satu pusat peradaban Islam."
Mencintai Satwa
Umat Islam mengetahui bahwa Nabi Muhammad adalah penyayang kucing. Sampai-sampai, banyak yang melarang untuk menyakiti atau membunuh kucing karena makhluk tersebut adalah kesayangan Nabi Muhammad.
Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim (204–875) bahwa Nabi Muhammad menyebut seseorang dihukum pada hari kiamat "lantaran dia mengurung seekor kucing sehingga kucing itu mati". Hadis itu mengancam siapa pun yang menyakiti kucing akan dimasukkan ke neraka.
Selain kucing, Islam mengharuskan umat muslim untuk mencintai satwa lainnya, baik liar, ternak, maupun peliharaan. Ulama dan ahli tafsir dari Irak Izzudin bin Abdissalam (1181–1262) dalam buku Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, berfatwa banyak hal tentang kewajiban manusia terhadap hewan.
Di antaranya yang diwajibkan oleh Izzuddin bin Abdissalam yakni menafkahi binatang yang sakit walau tidak dapat diambil manfaatnya, melarangnya berada di tempat terancam oleh satwa lain, harus menyembelih dengan cara terbaik yang tidak menyiksa atau menyakiti, menyediakan pasangan kawin, dan, bahkan, tidak boleh menyembelih anaknya di hadapan induk.
Peribadatan Islam memang mengenal kurban hewan ternak. Namun, ada banyak peraturan yang harus dipenuhi, termasuk kesejahteraan hewan. Nabi Muhammad melarang penyembelihan yang membuat hewan menderita karena prosesnya yang berlama-lama.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Ade S |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR