Nationalgeographic.co.id—Apa yang kebanyakan orang bayangkan tentang pejuang wanita Kekaisaran Tiongkok adalah Mulan. Kisahnya telah menggema di seluruh dunia melalui berbagai media, seperti film, buku, dan pertunjukan teater.
Mulan mungkin adalah prajurit wanita Tiongkok yang paling terkenal, tetapi sebagian besar sejarawan setuju bahwa dia lebih merupakan legenda daripada tokoh sejarah yang sebenarnya.
Lalu bagaimana dengan kehidupan nyata? Apakah ada pejuang wanita yang nyata dalam sejarah Tiongkok? Jawabannya adalah ya. Ada banyak pejuang wanita yang terkenal.
Salah satu pejuang wanita yang sangat terkenal dan dihormati adalah Lin Siniang, yang hidup di era dinasti Ming (1629-1644).
Dia adalah seorang pejuang yang secara pribadi melatih pasukan wanita dan mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan rajanya. Dia meninggal pada usia muda 15 tahun.
Kehidupan Awal
Pada tahun 1629, tahun kelahiran Lin Siniang, Tiongkok berada di masa senja Dinasti Ming. Pada saat itu, negara ini terlibat dalam konflik bersenjata di beberapa wilayah; Mongolia, Korea, dan Jepang.
“Keluarga Lin berasal dari kelas militer yang berjuang. Meskipun mereka memiliki sedikit uang, ayahnya berusaha keras untuk memberikan pendidikan militer yang layak kepada putrinya. Dia belajar seni bela diri, serta teknik penggunaan pedang dan tombak,” tulis sejarawan Williams di laman Owlcation.
Lin sangat terampil pada usia enam tahun. Bahkan, orang-orang di desa tercengang dengan kemahirannya.
Cerita tentang keahliannya menyebar ke mana-mana. Namun, karena usianya yang masih sangat muda, hanya sedikit orang di luar desanya yang percaya bahwa dia bisa menjadi berbakat seperti yang dikabarkan.
Orang tua Lin meninggal ketika dia masih remaja. Setelah kematian mereka yang tiba-tiba, dia terpaksa menghidupi dirinya sendiri dengan salah satu dari sedikit cara yang terbuka bagi wanita muda pada
Baca Juga: Pelayaran Terakhir Laksamana Cheng Ho dan Rekor Dinasti Ming Tiongkok
Perjalanan Menjadi Pejuang
Terlepas dari keadaannya yang malang, Lin tak pernah berhenti mengasah kemampuan bertarungnya. Di waktu luangnya, sebelum dan sesudah tugas pekerjaannya selesai, ia melatih kemampuannya di tepi Sungai Qinhuai.
Suatu hari, Williams menceritakan, ketika dia sedang berlatih seni bela diri, Raja Zhu Changshu kebetulan lewat - dan dia jatuh cinta pada pandangan pertama.
“Bukan hanya kecantikannya yang membuatnya tertarik, melainkan uga kemampuan bertarungnya yang tangguh,” tegas Williams.
Raja Zhu Changshu meminta Lin untuk tinggal bersamanya di istana. Tidak lama setelah hari itu, mereka menikah.
Raja kemudian meminta istri barunya itu untuk mengajarkan kemampuan bertarungnya kepada semua selir kerajaan. Akhirnya mereka membentuk pasukan yang semuanya beranggotakan wanita kerajaan.
Penangkapan Sang Raja
Ketika Lin sedang menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya dan melatih pasukannya yang semuanya perempuan, kekeringan yang mengerikan melanda wilayah tersebut.
Kelaparan segera menyusul, dan para pemberontak dari provinsi Shaanxi dan Shanxi mulai menjelajahi daerah itu untuk mencari makanan.
Mereka mengancam keselamatan Raja Zhu, tetapi sang raja tidak menganggap serius ancaman tersebut. Malang baginya, ketika dia berada di tempat peristirahatannya di gunung, para pemberontak menyanderanya.
William menuturkan, ketika Lin mendengar tentang penangkapan raja, dia segera mengerahkan pasukan tentara selirnya dan memimpin serangan terhadap pasukan pemberontak.
“Pada awalnya, musuh kebingungan diserang oleh pasukan wanita. Para pejuang Lin memanfaatkan kebingungan awal ini dengan menghabisi sejumlah besar pemberontak.”
Kejatuhan Lin dan Pasukannya
Meskipun pasukan Lin berhasil pada awalnya, mereka akhirnya dikalahkan oleh pasukan pemberontak yang telah menculik raja.
Tak lama kemudian, semua rekan-rekan Lin terbunuh, dan dia adalah satu-satunya yang tersisa.
“Para pemberontak menuntutnya untuk menyerah-tetapi dia menolak,” jelas William. “Sebaliknya, dia terus berjuang, dengan gagah berani menangkis setiap tusukan pedang dan tombak, sampai akhirnya dia menyerah pada pukulan yang akan merenggut nyawanya.”
Bala bantuan segera tiba dalam bentuk pasukan tradisional pria. Didorong oleh keberanian dan pengorbanan Lin dan para prajuritnya, bala bantuan tersebut berhasil mengalahkan para pemberontak dan membebaskan Raja Zhu Changshu.
Kemudian, raja memerintahkan agar Lin dan setiap prajurit wanitanya diberikan pemakaman yang terhormat.
Perspektif Tiongkok tentang Prajurit Wanita
Seperti di sebagian besar masyarakat lain di dunia, perang di Tiongkok secara tradisional merupakan pekerjaan yang didominasi oleh kaum pria. Hanya dalam beberapa kasus yang jarang terjadi, para sejarawan mencatat adanya wanita yang berpartisipasi dalam upaya ini.
Namun, wanita sebenarnya sudah muncul dalam sejarah militer Tiongkok sejak zaman Sun Tzu (544-496 SM). Pada saat itu, para selir istana Raja Wu dilatih untuk menjadi tentara sebagai demonstrasi efek dari disiplin.
Dengan demikian, prajurit wanita, meskipun tidak umum, dipandang sebagai konsep yang masuk akal.
Source | : | Owlcation |
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR