Nationalgeographic.co.id—Markus Apaseray cukup mengenal perangkat GPS yang ada di tangannya, saat menjelaskannya kepada saya. Bentuk perangkat itu seperti roket dengan ujungnya berupa pelampung putih. Pada sisi besarnya, seperti balok hitam, terdapat GPS yang dapat mengirim sinyal ke satelit, dan penjepit.
Alat ini nantinya akan dipasang pada hiu paus, raksasa besar yang menghuni Teluk Cenderawasih. Markus dan empat temannya yang bekerja sebagai polisi hutan Bidang I Balai Besar Taman Nasional Teluk Cenderawasih (BBTNTC) yang akan memasang perangkat GPS ini kepada hiu paus.
Pelatihannya sudah berlansung sejak Rabu, 5 Juni 2024. Di hadapan saya, Markus sudah hapal betul fitur-fiturnya. Perangkat ini berkelas internasional. Atas komitmen untuk konservasi hiu paus, PT. Pertamina International Shipping (PIS) menghadirkannya ke Nabire, berikut pelatihannya.
"Alat ini keren," kata Markus. "Jadi, ketika dia, hiu paus itu masuk ke kedalaman 1100-an [meter di bawah permukaan laut], otomatis ada pemicunya di sini yang buat dia lepas dan naik ke permukaan. Bisa dibilang, kerennya, dia terapang di atas air, dan frekuensinya bisa kita lacak."
Lanjutnya, alat ini bisa dipasang di sirip dorsal yang berada di bagian punggung hiu paus. "Di tempatnya itu, kuat.Sudah coba ketika dipasang, saya sendiri mau goyang untuk melepas. Tidak bisa [dilepas] dengan kekuatan saya sendiri," tutur Markus.
Itulah momen perjumpaan pertama dengan Markus pada Kamis, 6 Juni 2024. Sore harinya, dia bersama yang lainnya melanjutkan pelatihan di bagan. Pelatihan itu sendiri dipimpin Marco Flagg, CEO Desert Star System LLC, yang telah mencoba perangkat tersebut di Meksiko, Kepulauan Galapagos, dan Peru.
Berusaha menangkap hiu paus di Teluk Cenderawasih supaya dapat memasang GPS tidaklah susah, tetapi harus bersabar. Raksasa bernama latin Rhincodon typus ini sering menghampiri manusia. Saya berjumpa lima hingga enam ekor di bagan, tempat para nelayan menangkap ikan-ikan kecil. Hiu paus menghampiri karena jumlah ikan kecil yang ditangkap nelayan banyak.
"Ibaratnya, kami bagi upah," kata salah satu nelayan di bagan, yang menjelaskan interaksi antara manusia dan hiu paus di perairan sekitar bagan.
Ketika hiu paus mendekat, dengan sigap Marco, Markus, dan polisi hutan lainnya mendekat. "[Hiu paus ini] Terlalu kecil. Jangan pasang ke hiu yang kecil atau anak-anak," seru Marco di permukaan. Marco mengatakan hiu paus berusia muda punya sirip yang kecil, sehingga sulit bagi perangkat GPS bisa terpasang. Markus dan teman-temannya segera beralih ke hiu paus berukuran besar.
Pemasangan GPS pada hiu paus merupakan sebagian dari program tanggung jawab sosial PIS. Sejak Agustus 2023, PIS dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meneken nota kerja sama untuk pelestarian Teluk Cenderawasih.
Ada alasan tersendiri mengapa PIS merasa bertanggung jawab untuk terlibat dalam pelestarian. "Di punggung Pulau Papua ini, kebetulan, ada tiga terminal dengan kapal kita yang bolak-balik melintas," ungkap Muhammad Aryomekka Firdaus, Corporate Secretary Pertamina International Shipping.
Baca Juga: Bersinergi untuk Bahari, Upaya PIS Merawat Ekowisata Hiu Paus di Teluk Cendrawasih
"Tujuan kita ini tujuan jangka pendeknya, [supaya] kita bisa tahu jalur hidup hiu paus ini ke mana berenangnya, dan kita akan menyatukan dengan data kapal kita, agar kapal kita yang berlayar tidak mengganggu jalur migrasi hiu paus."
Tidak berhenti di situ saja, PIS berkomitmen jangka panjang untuk meningkatkan kualitas konservasi dan ekowisata TNTC. PIS mengadakan pemberdayaan Desa Energi Berdikari Ojab'o untuk meningkatkan kualitas perekonomian masyarakat setempat.
Selain itu, PIS juga akan meremajakan kembali Whale Shark Center sebagai tempat riset hiu paus. "Rencananya kita ingin membuat WSC ini lebih hidup dan kualitasnya setara internasional seperti yang tadi kita lakukan menggunakan tagging yang memang ahlinya berkelas internasional dari California," tutur Aryo.
Markus mengatakan, bantuan ini sangat dibutuhkan sebagai pihak yang akan memantau pergerakan hiu paus bersama rekan-rekan di BBTNTC lainnya. Selama ini, pihak BBTNTC hanya dapat mengawasi hiu paus selama setahun sekali atau dua kali. "Tapi karena perbantuan PIS dan Pertamina Foundation, terima kasih sekali. Kami bisa memantau itu setiap bulannya," tuturnya.
Anak Muda Jadi Polisi Hutan
Markus lahir di Jayapura pada 29 tahun yang lalu. Dia mengambil fokus sekolah kehutanan sewaktu SMK. Setelah lulus, jejak kariernya berfokus di pelbagai kawasan konservasi di Papua, sampai akhirnya kini bertugas di BBTNTC.
Bertugas di lingkup TNTC punya tantangan sendiri karena berbeda dengan taman nasional lainnya di Indonesia. 80 persen kawasannya adalah perairan. Aktivitas polisi hutan pun kebanyakan berkeliling menggunakan perahu cepat.
"Batas kerja kami ya batas air tertinggi saat pasang," kata Markus. Sebagai Polisi Hutan Muda Bidang I Nabire, Markus terkadang keliling kawasan perairan untuk edukasi, supaya tidak ada penangkapan ikan ilegal, termasuk penggunaan kompresor dan bom terumbu karang.
Markus menaruh harapan dengan kerja sama antara PIS dan KLHK. Kesepakatan kerja sama ini bisa membantu operasional di BBTNTC untuk melindungi kawasan.
Meski demikian, hal terpenting dalam upaya pelestarian alam adalah keberlanjutan. Upaya baik ini harus dilanjutkan oleh anak muda lain seperti Markus.
Baca Juga: Menjaga Keasrian Teluk Cenderawasih Demi Hiu Paus, Sang Gurano Babintang
Kepedulian Markus tentang pelestarian lingkungan pun terbentuk sejak sekolah dan mulai meniti karier di bidang konservasi. Dia berharap, apa yang ia rasakan juga muncul di kalangan anak muda lainnya di seluruh Indonesia, khususnya di Papua.
"Apa yang kita bisa banggakan dari tempat kita jika sudah tidak ada apa-apa?" kata Markus beretorika.
"Memang ke depannya negeri ini—atau tempat kita berpijak ini—ke depannya kita yang nanti mengelola, tapi ketika kawasan kita atau alam kita tidak jaga, tidak mengelolanya dengan baik, dan sudah lupa atau masa bodoh dengan ini, ke depannya kita nanti sudah tidak ada apa-apa yang perlu kita jaga."
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR