Nationalgeographic.co.id—Di Kekaisaran Jepang pada abad pertengahan, teh begitu populer. Sekolah-sekolah khusus yang mengajarkan orang bagaimana mereka harus minum teh mulai berkembang.
Apalagi, saat itu, teh bukan sekadar minuman. Namun juga dipandang sebagai seni dan menjadi bagian integral dalam budaya Jepang.
Teh hijau mendominasi di Kekaisaran Jepang
Teh hijau tersedia dalam dua jenis. Pertama, daun kasar yang digunakan untuk teh yang diminum setelah makan. Lalu yang kedua adalah teh bubuk halus yang disediakan untuk acara-acara khusus.
Orang-orang minum teh di ruang teh khusus (chashitsu) atau di kedai teh. Kedai teh ini disebut sukiya, yang berarti 'rumah ketidaksempurnaan'. Kedai teh pertama kali dibuat dari bahan yang sangat sederhana seperti bambu, tanah, dan jerami, serta perabotannya jarang. Mereka memiliki pintu yang rendah.
“Mungkin untuk mengingatkan semua pendatang bahwa mereka setara dan memasuki ruang di mana tidak boleh ada pangkat. Apapun status seseorang di luar,” tulis Mark Cartwright di laman World History Encyclopedia.
Kedai teh mungkin terletak di taman khusus (roji) dengan batu-batu loncatan (tobi-ishi), pepohonan hijau, dan lumut lebat. Semuanya dirancang untuk menenangkan pengunjung sebelum memulai upacara minum teh. Ketika datang ke kedai teh, pengunjung menyingkir dari hiruk pikuk kehidupan sehari-hari ke tempat peristirahatan yang tenang.
Sebelum masuk, pengunjung melewati lampu batu dan baskom (chozu-bachi) untuk membersihkan tangan. Di dalam ruangan kecil tersebut terdapat alas lantai tatami. Tuan rumah menyiapkan teh di balik layar geser.
Porselen terbaik dapat digunakan untuk stoples penyimpanan teh, teko, dan cangkir. Stoples teh sering kali menjadi benda dekoratif sehingga digunakan sebagai hiasan permanen di rumah.
Tradisi minum teh kemudian menjadi sebuah upacara
Para ahli menulis buku-buku tentang bagaimana berperilaku dan menghargai teh sepenuhnya. Bahkan penyair juga menciptakan puisi pujian. Semua itu membuat kebiasaan minum teh berkembang menjadi sebuah bentuk seni dan ritual yang sangat bergaya.
Baca Juga: Da-Hong Pao, Teh Termahal di Dunia dari Dinasti Ming, 'Tembus' Belasan Miliar Rupiah
Seni dan ritual tersebut kemudian dikenal sebagai upacara minum teh Jepang. Teh ditampilkan dalam banyak genre seni Jepang seperti sastra, teater, lukisan, dan kaligrafi.
Upacara minum teh di Jepang disebut chanoyu, yang berarti "air panas untuk teh". Atau juga chado atau sado, yang berarti "cara minum teh". Pesta teh dimulai dengan acara yang cukup riuh di mana para tamu mencoba menebak jenis teh yang mereka minum.
Namun shogun abad ke-15 Ashikaga Yoshimasa menghentikan semua itu. Ia menjadikan semuanya jauh lebih tenang. Pada akhirnya, upacara minum teh menawarkan kepada kelas penguasa sebuah tempat yang sempurna untuk melakukan percakapan rahasia.
Upacara ini melambangkan prinsip estetika Jepang wabi, yaitu nilai yang diberikan pada apresiasi keindahan dan kesederhanaan dalam kehidupan sehari-hari.
Penerapan wabi pada upacara minum teh dilakukan oleh biksu dan ahli teh abad ke-16 Sen no Rikyu (1522-1591). Namun beberapa sejarawan lebih memilih Murata Shuko (1422-1502), biksu Buddha Zen semi-legendaris, sebagai sumber inspirasi pertama.
Bagaimanapun, tampaknya beberapa ahli teh selama bertahun-tahun membantu berkembangnya upacara minum teh.
Rikyu adalah pembawa acara minum teh yang melayani panglima perang Oda Nobunaga dan penggantinya Toyotomi Hideyoshi. “Rikyu lebih dari sekadar pembuat teh dan menjadi penasihat penting bagi majikannya,” ungkap Cartwright.
Dipicu oleh alasan inilah diplomasi Kekaisaran Jepang kemudian disebut 'politik teh'. Politik teh memunculkan penggunaan ahli teh dalam negosiasi politik serta dalam upacara pemerintahan.
Rikyu, selain menanamkan estetika wabi pada acara minum teh, juga memperkecil ruang teh. Ia menyederhanakan proses dan mempromosikan penggunaan bunga yang ditata dengan cermat (ikebana). Keberadaan bunga itu menciptakan suasana tenang yang pas.
Para majikan Rikyu meminum teh ketika bertemu dengan tokoh-tokoh penting. Hideyoshi terkenal mengadakan pesta teh sepanjang hari untuk 800 tamu, Pesta Teh Kitano. Perjamuan itu diselenggarakan untuk merayakan kemenangan militernya di Kyushu pada tahun 1587.
Saat perjamuan, Hideyoshi juga membangun dua kedai teh. Satu dengan gaya pedesaan tradisional dan, sangat kontras dengan konvensi, yang kedua portabel yang berkilau dengan penyepuhan eksterior dan interior.
Baca Juga: Awalnya Jadi Stimulan para Biksu, Ini Sejarah Teh Hijau di Kekaisaran Jepang
Namun, Rikyu lebih sukses pada generasi berikutnya. Saat itu, upacara minum teh secara bertahap menjadi lebih bergaya, lebih sopan dan intim. Bahkan ditetapkan norma untuk meminum teh hijau tepat tiga setengah teguk dan diakhiri dengan sedikit manisan. Peralatan tertentu harus digunakan dan tugas dilakukan dalam urutan tertentu dan dengan pergerakan yang ekonomis.
Sekolah teh, yang pertama didirikan oleh cucu Rikyu, menyebarkan prinsip-prinsip upacara tersebut ke seluruh penjuru Jepang. Bahkan ada sekolah yang khusus ditujukan untuk melibatkan masyarakat kelas bawah, misalnya sekolah Urasenke.
Meskipun perjamuan teh diperkecil, kecintaan terhadap benda-benda dekoratif yang berhubungan dengan teh tidak pernah berkurang. Mangkuk, kedi, dan ketel menjadi sangat dihargai oleh para kolektor. Semua itu ditampilkan secara menonjol sebagai hadiah dari para penguasa.
Misalnya, Nobunaga pernah menghadiahi Hideyoshi karena berhasil merebut kastel musuh dengan memberinya ketel teh. Kedua panglima perang itu adalah kolektor perlengkapan teh.
Para panglima perang sering kali membatasi siapa yang boleh dan tidak boleh berpartisipasi dalam pesta minum teh. Terlepas dari dominasi mereka, pengalaman minum teh seiring berjalannya waktu mendapatkan kembali unsur spiritual aslinya.
Minum teh menjadi momen ketenangan dan pembaharuan bersama bagi para pesertanya. Seperti kata pepatah Jepang kuno, cha-Zen ichimi atau zen dan teh memiliki rasa yang sama. Seperti yang dikatakan Okakura, "Teaisme adalah Taoisme yang menyamar.”
Cita-cita utama minum teh adalah wa (harmoni), kei (rasa hormat), sei (kemurnian), dan jaku (keanggunan dan ketenangan). Namun, upacara minum teh bukanlah acara formal karena gagasan utamanya adalah momen untuk bersantai. Namun, ada prosedur tertentu yang harus diikuti.
Upacara minum teh di zaman modern
Meskipun tidak semua orang dapat menghadiri upacara minum teh lengkap di sukiya, masih ada beberapa etika saat minum teh di Kekaisaran Jepang. “Bahkan hingga saat ini,” Cartwright menambahkan.
Tuan rumah harus melakukan semua persiapan, bukan tamunya. Lokasinya harus tenang, sebaiknya dengan pemandangan yang menenangkan seperti taman atau rangkaian bunga di dalam ruangan.
Bunga sebaiknya ditata agar tampak seolah-olah masih tumbuh liar. Dan kesempatan untuk menempatkannya di dalam vas yang bagus tidak boleh dilewatkan. Satu dinding mungkin dihiasi dengan cetakan pilihan atau gulungan yang dihias (jiku).
Baca Juga: Kisah Beifu, Porter Teh Tiongkok yang Membawa Beban Seukuran Lemari Es
Hal pertama adalah merakit peralatan atau chadogu yang tepat. Ada anglo (furo) atau ubin panas (shikigawara) untuk memanaskan ketel besi (kama).
Ada dua jenis kotak teh, kantong sutra untuk teh kental atau kuat dan natsume porselen untuk teh encer. Seseorang membutuhkan pengocok bambu (chasen) untuk mencampurkan teh bubuk dan air panas.
Teh hijau dengan kualitas terbaik adalah matcha. Bubuk matcha yang sangat halus ditaburkan dan dimasukkan ke dalam air panas di mangkuk minum (chawan). Minumannya sedikit berbusa.
Alternatifnya adalah sencha, teh daun berwarna kecokelatan yang diseduh dan, karena jauh lebih murah daripada matcha, lebih banyak diminum. Matcha cenderung disediakan untuk acara-acara khusus dan upacara minum teh.
Mangkuk yang digunakan dapat terbuat dari bahan apa saja. Namun mangkuk yang memiliki karakter atau sejarah dapat menarik percakapan. Mangkuk dan perkakas bahkan bisa menjadi barang antik yang berharga. Tapi desainnya tidak boleh terlalu rumit karena akan bertentangan dengan prinsip wabi. Sebaiknya warnanya juga melengkapi teh yang disajikan.
Tentu saja, tuan rumah melayani tamunya sebelum dirinya sendiri. Teh harus diminum sedikit demi sedikit. Apresiasi penuh terhadap upacara minum teh mengharuskan tamunya memiliki pengetahuan tentang tradisi. Selain itu juga mengetahui tren seni visual, arsitektur, desain taman, merangkai bunga, dan keramik.
Dijiwai dengan prinsip zen, upacara minum teh lengkap sering dilakukan untuk pengunjung biara Buddha Jepang. Terdapat tiga ruang teh asli yang masih ada dan semuanya terdaftar sebagai Harta Nasional Jepang. Ruang teh tersebut dapat ditemukan di Myoki-an di Yamasaki, di dalam kuil Shinto di Minase-gu, dan di biara Saiho-ji di Kyoto.
Selain suasana yang lebih formal, teh kini tersedia di mana-mana mulai dari restoran sushi hingga mesin penjual otomatis. Sebungkus teh berkualitas masih banyak diberikan sebagai oleh-oleh, seperti yang dilakukan oleh orang Jepang yang mengawali kecintaan terhadap teh. Seperti para biksu Buddha di abad ke-8.
Source | : | World History Encyclopedia |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR