Nationalgeographic.co.id—Di lepas pantai Teluk Cenderawasih, Nabire, sekitar setengah jam berlayar dengan perahu cepat, ada bagan sederhana mengapung. Para nelayan berkampung halaman di Sulawesi Selatan menjadi penghuninya. Mereka terbiasa hidup di bagan berbulan-bulan lamanya.
Daeng Maros adalah salah satu nelayan yang tinggal di sini. Nama ini diberikan kawan-kawannya karena asalnya dari Maros, Sulawesi Selatan. Dia sudah merantau menjadi nelayan sejak 1990-an, yang kala itu pesisir Nabire belum seramai sekarang oleh aktivitas pariwisata.
"Di sini kami tinggal, kerja, [dan] makan. Kami masak sendiri. Kadang kami juga belanja ke kota (Nabire) untuk kebutuhan makan dan jual ikan," kata Daeng Maros. Mereka bergiliran untuk pergi ke kota. Kebutuhan air bersih dipenuhi dengan mengambil air segar dari kampung sekitar seperti Ojab'o atau Kalilemon.
Saya tiba di bagan tempat Daeng Maros dan rekan-rekannya pada pukul 9 WIT. Meski terhitung masih pagi, matahari semakin terik. Ketika saya memeriksa aplikasi Zoom Earth, suhu sekitar di atas 30 derajat Celsius. Keringat telah membasahi badan saya, sampai-sampai harus mandi diri di bawah kucuran air segar di Kalilemon.
Panas ini sudah jadi makanan sehari-hari Daeng Maros dan rekan-rekannya. Setiap harinya, mereka beraktivitas sampai malam. "Malam ya buat istirahat, tapi ada juga yang mancing untuk dimasak," terang Daeng Maros.
Sejak pagi, jaring di sisi kiri dan kanan bagan diturunkan untuk mendapatkan ikan tangkapan yang bisa dijual, dan termasuk pelbagai artropoda seperti udang. Mereka seharian ada di luar ruangan.
Di siang hari, bilik kabin perahu di tengah bagan untuk beristirahat selalu kosong, kecuali barang-barang mereka. Kebiasaan ini juga dilakukan oleh kelompok nelayan lainnya di bagan-bagan yang ada di sekitar Teluk Cenderawasih.
Panas yang Merengut Kesehatan Nelayan
Putri Ayuni Alayyannur, peneliti di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga menyebut, nelayan di Indonesia sering diterpa tekanan panas (heat stress). Dampaknya adalah pada kesehatan sistem ekskresi.
Dalam penelitiannya bertajuk "Relationship between individual and the risk of exposure to heat stress in Indonesian fisherman" di jurnal Pharmacognosy Journal, April 2023, Putri dan tim mengungkap bahwa nelayan rentan mengidap hipertensi dan gangguan ginjal.
Baca Juga: Degradasi Ekosistem Pesisir Menyebabkan Penurunan Pendapatan Nelayan
Penyebabnya, tekanan panas di lingkungan kerja, seperti cuaca panas. Kondisinya semakin buruk karena kebiasaan para nelayan yang kurang minum air putih dan beban pekerjaan yang dihadapi. Penelitian ini baru menyasar komunitas nelayan di Lamongan dan Surabaya yang hanya menghabiskan melaut beberapa jam dan pulang ke pesisir.
"Saya belum tahu hasilnya kalau pada nelayan yang berhari-hari di laut," Terang Putri. "Kami punya keterbatasan teknis di lapangan. Kami mengupayakan supaya ke depannya bisa meneliti nelayan yang bisa berhari-hari di laut."
Putri menemukan, nelayan sendiri sering abai dengan kondisi kesehatannya di laut. Kebiasaan nelayan di Indonesia yang punya iklim panas adalah bekerja mengenakan baju. "Mereka abai karena merasa masih sejuk di laut. Padahal itu sejuk palsu yang mengandung panas. Akibatnya, sirkulasi hidrasi dalam tubuh mereka terus berlangsung," terang Putri.
Nelayan berusia lanjut atau di atas 60 adalah yang paling rentan ketika terkena tekanan panas. Putri dan tim menemukan bahwa nelayan berusia tua mengalami penurunan fisiologis.
Semakin tua seseorang, sistem pembuangan cairan dalam tubuh semakin lemah. Hal ini juga yang menyebabkan banyak orang berusia lanjut kerap mengompol. Pada konteks nelayan, hal ini memperburuk kadar air yang menjaga kesehatan mereka.
Suhu panas yang terus menerpa bisa berdampak pada kesehatan fisik lainnya. Yosephin Sri Sutanti dari Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Krida Wacana mengungkapkan, nelayan rentan mengidap pterigium.
"Kelainan pterigium ini banyak diidap pekerja lapangan lainnya, seperti petani, buruh lapangan, dan juga nelayan," ungkapnya. "Ini adalah kelainan mata yang disebabkan cuaca atau cahaya matahari, yang mengganggu kemampuan penglihatan mereka."
Nelayan Kita Stres!
Yosephin terlibat dalam studi bertajuk "Analisis Stres Kerja dan Upaya Intervensi Psikologi Kerekayasaan dalam Mengatasi Stres Kerja Nelayan Tradisional Tanjung Peni Citangkil dan Leleyan Grogol Pesisir Pantai Cilegon", yang dipublikasikan di Jurnal Ergonomi dan K3 pada Maret 2017. Penelitian itu dipimpin Antonius D. Manurung dari Psikologi Industri Universitas Mercu Buana Jakarta.
"Kita bilang nenek moyang kita pelaut. Itu citranya. Kalau saya perhatikan, kecenderungan mereka (nelayan) tersingkirkan itu tinggi sekali," terang Anton.
Dalam penelitian tersebut, kehidupan nelayan kita juga memiliki stres kerja yang kompleks. Di laut, nelayan menghadapi suhu tinggi dari udara dan matahari. Ketika cuaca memburuk, gelombang laut memaksa nelayan berupaya keras agar dapat bertahan. Sementara perahu mereka sendiri menghasilkan suara bising yang berdampak pada psikologis.
Baca Juga: Nixon Watem, Pengebom Ikan yang Jadi Guru Pendidikan Lingkungan Hidup
Tangkapan laut semakin sulit diperoleh nelayan, ungkap Anton dan Yosephin. Laut kita, khususnya di sekitar Cilegon, Banten, tercemar limbah industri. Ikan bergeser ke perairan yang lebih bersih, mendorong nelayan harus beralih mencari tempat tangkapan lain.
Di darat, pihak pengepul nakal bisa tega dalam membagi hasil laut dengan harga murah. Hal ini membuat kehidupan domestik nelayan serba kekurangan. Beban ini, ditambah kebutuhan rumah tangga, mendorong mereka harus kerja lebih keras dan menyebabkan stres psikologis.
Kondisi ini memerlukan perhatian, terang Anton. Pasalnya, kesejahteraan nelayan berhubungan dengan keberlanjutan profesi ini. Hasil survei di AS oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyingkap bahwa pekerja sektor perikanan termasuk lima pekerjaan tertinggi dengan tingkat bunuh diri.
Secara keberlanjutan profesi, WALHI mencatat, ada 1,83 juta pekerja perikanan, termasuk nelayan, yang tersisa di seluruh Indonesia pada 2019. Jumlahnya menurun, berdasarkan survei Data Indonesia pada April 2023, yakni tersisa sekitar 1,27 juta jiwa.
Nelayan kita masih abai akan kebutuhan asuransi kesehatan seperti BPJS. Bagi mereka, urunan premi dianggap membebankan. Tidak jarang, mereka lebih memilih berhutang kepada juragan atau pengepul ketika mengalami sakit parah.
Putri mengatakan, sebenarnya Pemerintah Indonesia lewat Kementerian Kesehatan, mengusung Pos Upaya Kesehatan Kerja (UKK) di desa. Lewat Pos UKK, penanganan kesehatan pada pekerja non-informal bisa tersentuh.
Hanya saja, tidak semua desa memiliki Pos UKK. Di Teluk Cenderawasih, Daeng Maros dan rekan-rekan harus mengambil perawatan kesehatan di Puskemas. Akan tetapi, hanya ada sedikit Puskemas yang memiliki fasilitas dan pelayanan memadai.
"Saya pikir sebaiknya Pos UKK itu diaktivasi kembali dan menyeluruh," terang Putri. "Karena program kesehatan basic untuk mereka yang dari informal itu."
Dinas Perikanan pun harus terlibat dalam upaya penyadaran keselamatan kerja nelayan. Putri menyarankan dengan membantu pengadaan perahu yang memadai pekerjaan nelayan di laut.
Anton dan Yosephin menyerukan adanya pendampingan dari berbagai pihak. Pendampingan ini melibatkan Dinas Kesehatan setempat dan perusahaan terdekat dalam program tanggung jawab sosial (CSR). Dengan pendampingan, lingkungan masyarakat nelayan dapat mewujudkan iklim organisasi yang mendukung untuk kebutuhan kesehatan.
Ada pun perusahaan sekitar juga harus terlibat dalam penyejahteraan nelayan, termasuk mengurangi limbah industrinya di laut.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR