Nationalgeographic.co.id—"Mangrove cantik siapa yang punya? Mangrove cantik siapa yang punya? Mangrove cantik siapa yang punya? Yang punya kita semua," seru murid-murid kelas empat sampai enam SD, bernyanyi. Suaranya terdengar sampai keluar ruangan kelas.
Saya yang berada di bawah pepohonan taman sekolah terheran-heran, mereka mengetahui istilah mangrove. Padahal, istilah ini rumit bagi anak-anak umumnya di tempat saya berasal. Di tempat saya, disebutnya bakau agar lebih mudah dimengerti. Banyak anak-anak di tempat saya juga sulit membedakan bakau dengan tanaman yang memiliki nama yang mirip, tembakau.
Murid-murid ini bersekolah di SD Negeri 28 Awat, Distrik Kofiau, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Tempat ini adalah satu-satunya sekolah di Awat. SD lainnya, bersama SMP dan SMA, berada di Balal, sebuah pulau kecil satu kilometer di utara Pulau Kofiau atau sekitar 15 menit menggunakan perahu.
Murid-murid SDN 28 Awat ini rupanya mengenal mangrove karena istilah ini memiliki kesamaan dalam bahasa Kofiau "manga-manga". Di Pelabuhan Awat, pepohonan mangrove begitu rindang, tersebar beberapa meter, dan dekat dengan pemukiman warga. Tidak heran bahwa anak-anak di sini mengenal tanaman ini dengan baik.
Hanya ada dua guru tetap di sini, dua lainnya honorer dari Sorong. Salah satu guru tetapnya bernama Nixon Watem yang mengajar Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH).
Murid-murid mengenal berbagai biota laut karena dapat dijumpai. Lewat PLH ini memudahkan pemahaman dasar tentang fungsinya.
"Pendidikan Lingkungan Hidup itu supaya anak didik punya pengetahuan tentang konservasi," kata Nixon. Ia kerap mengajak murid-muridnya keluar kelas untuk melakukan pengamatan langsung pada ekosistem pesisir.
Semasa muda, Nixon adalah nelayan. Agar bisa mendapatkan ikan tangkapan besar, bom digunakan. "Jadi kita buat bom itu hanya buat dapat ikan, untuk makan saja, dulu kan tidak dijual," terangnya. Ketika laut lebih tenang, mereka mendapatkan ikan dengan menggunakan akar tuba supaya mendapatkan ikan kecil sebagai umpan pancing ikan besar.
"Ternyata di tempat kita melakukan buru ikan, terumbu karang mati semua. Jadi, pada saat kita melakukan kegiatan-kegiatan pengerusakan itu kita tidak sadar bahwa hal itu merusak lingkungan laut, terutama terumbu karang," lanjutnya.
Hal itu terjadi sekitar tahun 1988, saat Nixon masih SMP. Pengetahuan tentang pembuatan bom diperkenalkan oleh pemuda kampungnya. Demi lauk di rumah, ia ikut aktivitas pengeboman di laut. Masyarakat Kampung Awat dan sekitarnya terpengaruh oleh nelayan luar pada 1990-an. Mereka menggunakan alat yang lebih canggih untuk menangkap ikan: kompresor.
Padahal alat ini berbahaya karena bisa menyebabkan tuli, kelumpuhan, hingga meninggal dunia. Sementara, alat ini juga menyebabkan terumbu karang rusak. "Jadi, sepertinya kita kan dulu belum mengerti benar. Dan kita memang buta betul apa itu konservasi, dan bagaimana kita menjaga alam kita," ungkapnya.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR