Nationalgeographic.co.id—Dinding-dinding tebing yang menjulang tinggi sejak lama menjadi magnet bagi manusia yang haus akan tantangan.
Jauh sebelum Olimpiade menjadi ajang olahraga paling bergengsi di dunia, manusia telah memanjat tebing sebagai bentuk eksplorasi dan pembuktian diri.
Kini, panjat tebing tidak hanya menjadi aktivitas rekreasi semata, tetapi juga telah resmi diakui sebagai cabang olahraga dalam Olimpiade.
Perjalanan panjang panjat tebing dari sekadar hobi menjadi olahraga prestasi kelas dunia ini menyimpan kisah yang menarik untuk kita telusuri.
Aktivitas purba
Jauh sebelum panjat tebing menjadi olahraga ekstrem yang populer, manusia purba telah menunjukkan ketangguhan mereka dengan menaklukkan tebing-tebing terjal.
Di pegunungan Mustang, Nepal, misalnya, arkeolog menemukan kompleks pemakaman kuno yang hanya bisa diakses dengan memanjat dinding batu yang curam. Hal ini mengindikasikan bahwa manusia purba telah memiliki kemampuan memanjat yang luar biasa sejak ribuan tahun lalu.
Tidak hanya di Nepal, di Barat Daya Amerika Serikat pun ditemukan bukti bahwa suku-suku asli telah menjadikan tebing-tebing mesa sebagai rumah mereka. Mereka membangun pemukiman di tempat-tempat yang sulit dijangkau, menunjukkan adaptasi yang luar biasa terhadap lingkungan alam.
"Kemampuan memanjat ini kemungkinan besar didorong oleh kebutuhan untuk bertahan hidup," papar Freddie Wilkinson di laman National Geographic. Mereka mungkin memanjat untuk mencari makanan, menghindari predator, atau sekadar mencari tempat yang aman untuk beristirahat.
Seiring berjalannya waktu, kegiatan memanjat mulai berevolusi menjadi sebuah olahraga. Pada awal abad ke-20, beberapa wilayah di Eropa, seperti Distrik Peak dan Lake di Inggris, wilayah Elbe Sandstone di Jerman Tenggara, dan Dolomites di Italia Utara, menjadi pusat perkembangan panjat tebing modern.
Para pendaki pionir di wilayah-wilayah ini mulai bereksperimen dengan peralatan panjat yang lebih canggih, seperti carabiner baja dan paku besi lunak.
Baca Juga: Jelang Ekspedisi Lima Negara Asia Tenggara, Eiger Jelajahi Nusantara
KOMENTAR