Nationalgeographic.co.id—Mungkin Anda sudah tidak asing dengan perjalanan Kera Sakti mencari Kitab Suci ke Barat ditemani dengan biksu Tong Sam Cong dan beberapa tokoh lainnya.
Namun, tahukah Anda pemikiran apa yang sebenarnya diungkap dari perjalanan dan hubungan antara Kera Sakti dan Biksu Tong?
Journey to The West (Perjalanan ke Barat) adalah novel klasik Tiongkok yang ditulis pada masa Dinasti Ming oleh Wu Cheng'en, kisahnya bahkan masih populer hingga sekarang.
Ceritanya adalah kisah mitologis tentang perjalanan biksu Buddha Tong Sam Cong/Xuanzang (Tripitaka), dan murid-muridnya, yaitu Sun Wukong atau Sun Gokong si Kera Sakti, Cu Pat Kai/Zhu Bajie si manusia setengah babi, dan Sha Wujing si pendeta, yang melakukan perjalanan ke Barat (India) untuk mengambil kitab suci Buddha.
Meskipun Tripitaka (602-64 M) adalah seorang biksu nyata yang memang melakukan perjalanan ke India pada masa Dinasti Tang, novel ini mengikuti genre Shenmo Xiaoshuo (cerita tentang Dewa dan Siluman), yang memiliki sedikit keterkaitan dengan peristiwa sejarah.
Di antara murid-muridnya, Kera Sakti dengan nama asli Sun Wukong (Menyadari Kekosongan), adalah tokoh protagonis sebenarnya yang bertindak sebagai pelindung dan penjaga bagi seluruh kelompok.
Novel ini berisi banyak cerita yang menghibur tentang melawan musuh-musuh jahat sepanjang perjalanan. Namun, terdapat juga puisi-puisi misterius yang disematkan dalam setiap 100 babnya yang membuat referensi terhadap kitab-kitab Daoisme dan Buddhisme.
Michelle Zhang dalam A Hidden Theory of Mind in Journey to The West mengungkap bahwa campuran ini sangat membingungkan. "Kritikus seperti Bantlty dan banyak lagi telah menafsirkan novel ini dari perspektif non-religius, Konfusianisme, Buddhisme, atau Daoisme," ungkapnya.
"Meski begitu, pandangan bahwa Journey to The West mengandung gagasan sinkretik yang menggabungkan Daoisme, Buddhisme, dan Konfusianisme semakin diterima."
Makna Xuan dalam Konteks Journey to the West dan Dao De Jing
Mengingat bahwa Journey to the West (JW) sering merujuk istilah/konsep Xuan, kita harus meninjau kembali Dao De Jing (DDJ) dari perspektif JW, yaitu kanon Daois ini harus diperiksa dari perspektif teori pikiran.
Baca Juga: Mitologi Tiongkok: Kisah Keabadian Ibu Ratu dari Barat dan Sun Gokong
Sudut pandang semacam ini sebagian besar diwarisi dari ajaran Zhang Boduang. Xue Daoguang, seorang guru dari aliran Selatan, menolak gagasan untuk mencari eliksir di luar pikiran.
"Letaknya bukan di hati, bukan di jantung ...". Konsep Xuan adalah "kosong" (tanpa pikiran), isi (kesadaran), dan keinginan, yang semuanya disebutkan dalam bab pembukaan DDJ.
"Dalam interpretasi kosmologis, Kosong/Isi sering diterjemahkan sebagai non-being/being (ketiadaan/keberadaan), dan selalu membingungkan bagaimana keberadaan bisa diciptakan dari ketiadaan," ungkap Zhang.
"Namun, jika kita membatasi Dao De Jing dari perspektif teori pikiran, maka Kosong dan Isi hanyalah dua keadaan pikiran yang dibedakan oleh ada atau tidaknya nama/konsep," paparnya.
Dengan interpretasi ini, menciptakan Kehadiran dari Kekosongan berarti menciptakan nama dari keadaan pikiran tanpa nama, dan tidak ada masalah pemahaman sama sekali.
Dengan membaca paragraf pembukaan DDJ sebagai teori pikiran, terungkap bahwa ada dua keadaan kognitif: yang satu dengan nama dan lainnya lagi tanpa nama. Meskipun kebanyakan orang saat ini hidup dalam keadaan Isi, kita tahu bahwa "kosong" pasti ada sebelum adanya nama.
"Kosong" juga keadaan pikiran yang penuh aktivitas, jika tidak, penemuan bahasa tidak akan mungkin terjadi. Dari keadaan "kosong" inilah kata-kata, nama, atau konsep diciptakan.
DDJ mengidentifikasi 'keinginan' sebagai agen yang menyebabkan peralihan antara kedua keadaan tersebut, dan Xuan, yang dimodulasi oleh keinginan, memiliki akses ke kedua keadaan pikiran tersebut.
Tanpa keinginan, Xuan dapat mengamati rahasia jalan, dan dapat membawa pengamatan tersebut ke dalam konsep yang terbentuk jika keinginan muncul. Interpretasi ini sesuai dengan teks aslinya karena pengamatan tentang rahasia dan bentuk jalan adalah fungsi kognitif.
Jika Xuan tidak dianggap sebagai kemampuan pikiran seperti yang disarankan oleh JW, maka frasa yang berbicara tentang pengamatan tidak dapat dikaitkan dengan Xuan. Dengan demikian, seluruh paragraf akan runtuh menjadi frasa acak yang tidak saling berkaitan.
Sepanjang sejarah, baik Daoisme maupun Buddhisme telah mencoba berbagai cara untuk menyampaikan gagasan bahwa hanya dalam keadaan "kosong", seseorang dapat memahami kebenaran dan mengamati jalan yang kekal.
Baca Juga: Sun Wukong, Kera Sakti yang Menantang Surga dalam Mitologi Tiongkok
Namun, "Kekosongan" adalah keadaan berpikir yang tidak dapat diwakili menggunakan bahasa. Untuk mengatasi kesulitan dalam menjelaskan keadaan pikiran ini, misalnya, para Biksu Chan mencoba menggunakan gerakan paradoks yang tidak dapat dipahami oleh pikiran rasional. Seringkali, upaya semacam itu membingungkan dan justru gagal menyampaikan arti "Kosong."
Hubungan antara Daoisme dan Buddhisme yang Terungkap
Dari analisis protagonis utama dalam novel ini, Wukong, pada dasarnya adalah murid Daoisme. Namun, keseluruhan novel ini berkisah tentang perjalanan ziarah Buddhis.
Tidak bisa disangkal bahwa terdapat aspek Buddhis dalam novel ini. Identitas Buddhis diwujudkan oleh Tripitaka, ia memiliki tubuh yang telah melalui sembilan kehidupan sebelumnya.
Tripitaka sepenuhnya terbebas dari keinginan sebagai seorang Biksu yang menolak godaan seksual oleh para siluman sepanjang perjalanan. Fakta bahwa syarat untuk memasuki “kekosongan” adalah melepaskan keinginan seperti yang diajarkan oleh Daoisme dan Buddhisme, maka jelas bahwa Tripitaka mewakili pikiran asli, dasar untuk pencerahan.
Namun, perilaku Tripitaka selama perjalanan menunjukkan bahwa melepaskan keinginan saja tidak cukup, karena dia terus-menerus terpengaruh oleh Cu Pat Kai dan gangguan sensorik lainnya. Penggambaran ini sejalan dengan kritik aliran selatan terhadap penekanan pada keheningan dalam Buddhisme.
Dalam Bab 2 dari Journey to the West, sikap ini dinyatakan dengan jelas, “Apa hasil sejati yang bisa diperoleh dari keheningan?" tanya Kera Sakti. "Pantang makan gandum, menjaga esensi, dan hening... Apakah ini cara untuk menjadi abadi?" tanya Kera Sakti. "Ini seperti membangun bagian atas tungku dengan batu bata yang dikeringkan di bawah sinar matahari," jawab biksu.
Di sisi lain, penulis Journey to the West menyadari bahwa Xuan, yang diwujudkan oleh Wukong, tidak memiliki belas kasih. Fakta bahwa dia lahir dari batu dan kecenderungannya untuk membunuh musuh tanpa belas kasihan menunjukkan karakteristik ini.
Sebaliknya, Tripitaka menunjukkan belas kasihnya terhadap semua jenis kehidupan sepanjang perjalanan. Konflik ini didramatisasi dalam Bab 56 di mana Wukong membunuh sekelompok perampok dan Tripitaka tidak mengakuinya.
Dengan terungkapnya kelemahan dan kekuatan dari "pikiran kosong" dan Xuan, secara alami Wu Cheng'en mengadopsi pandangan sinkretik.
Dalam bab terakhir, dia menjelaskan hubungan antara "pikiran kosong" dan Xuan dengan mengatributkan Laozi sebagai Orang Suci yang memulai Langit dan Bumi, dan Tathagata sebagai yang menyelamatkan seluruh dunia.
Pernyataan lain yang relevan terdapat dalam Bab 50, yang menyatakan bahwa Daoisme mencerahkan yang baik, dan Buddhisme yang bodoh. Pernyataan-pernyataan ini menyiratkan bahwa Journey to the West mengakui pentingnya keduanya karena tanpa bimbingan Daoisme, murid-murid Buddhis bisa dengan mudah terganggu oleh berbagai "siluman".
Tanpa Buddhisme, murid-murid Daois akan dengan mudah melupakan belas kasih dan dikuasai oleh dosa asal kesombongan dan kemarahan. Pengakuan akan saling ketergantungan antara Daoisme dan Buddhisme secara alami mengarah pada pengakuan akan pentingnya kedua agama ini, yang tercermin dalam pengangkatan Wukong dan Tripitaka ke dalam jajaran Buddha di akhir cerita.
Kesimpulan
Makna Xuan yang didefinisikan dalam Dao De Jing dalam konteks Journey to the West , memperlakukan semua kitab suci Daoisme dan Buddhisme sebagai teori untuk mengembangkan pikiran. Pikiran dapat beroperasi dalam dua keadaan mendasar.
Dalam keadaan 'kosong', pikiran menyatu dengan realitas sekitarnya dan dapat memahami kebenaran. Di sisi lain, dalam keadaan 'isi', pikiran membangun dunia berdasarkan konsep-konsep yang sudah ada sebelumnya. Kedua sisi pikiran ini dihubungkan oleh Xuan, yang memiliki akses ke keduanya.
Dengan mengidentifikasi Sun Wukong dengan Xuan, dan Tripitaka dengan "pikiran kosong", Journey to the West menyajikan teori pikiran rinci yang menempatkan kepentingan yang sama pada kedua kemampuan pikiran untuk mencapai pencerahan.
Dengan wawasan ini, kita dapat melihat mengapa Wukong perlu belajar mengendalikan keinginannya selama perjalanan mencari kitab suci ke Barat yang panjang dan sulit ini dengan menghalau segala macam gangguan (yang diwakili oleh siluman) atau dari rekan seperjalanannnya sendiri Cu Pat Kai yang mewakili keinginan duniawi.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR