Menurut Benjamin Horton, salah satu peneliti utama dan direktur Observatorium Bumi Universitas Teknologi Nanyang Singapura, pemanasan global layaknya memberikan 'bahan bakar' tambahan bagi siklon tropis.
"Ketika siklon bergerak melintasi lautan yang lebih hangat akibat perubahan iklim, mereka menyerap lebih banyak uap air dan panas," jelas Horton, seperti dilansir dari laman Eco Business. "Hal ini berarti angin lebih kencang, hujan lebih deras, dan banjir yang lebih parah ketika taifun mencapai daratan."
Asia Tenggara saksi bisu peningkatan bencana alam
Seperti diketahui, pada tahun-tahun belakangan ini, kawasan Asia Tenggara telah menjadi saksi bisu dari peningkatan frekuensi dan intensitas bencana alam, khususnya siklon tropis. Taifun Gaemi, yang melanda Filipina, Taiwan, dan Tiongkok selatan pada akhir Juli, merupakan salah satu contoh nyata dari fenomena ini.
Badai dahsyat ini telah mengakibatkan hujan lebat yang tak kunjung reda, memicu banjir bandang yang meluas, dan memaksa ribuan penduduk untuk mengungsi. Infrastruktur kritis seperti jalan raya, jembatan, dan bangunan mengalami kerusakan parah, mengganggu aktivitas masyarakat dan perekonomian.
Tidak hanya Taifun Gaemi, siklon tropis lainnya seperti Remal juga telah menimbulkan dampak yang sangat merusak. Ketika Remal menghantam India dan Bangladesh pada Mei lalu dengan kecepatan angin yang mencapai 135 kilometer per jam, 84 orang kehilangan nyawa, sementara yang lainnya kehilangan tempat tinggal.
Infrastruktur yang telah dibangun dengan susah payah hancur lebur, dan pasokan listrik terputus selama berhari-hari. Bahkan pada tahun sebelumnya, Siklon Mocha telah menimbulkan kerusakan yang sangat luas di pantai Rakhine, Myanmar, menewaskan 145 orang.
Asia, sebagai benua dengan populasi terbesar di dunia, sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Laporan Organisasi Meteorologi Dunia pada bulan April 2023 telah mengkonfirmasi bahwa Asia adalah wilayah yang paling parah terdampak oleh bencana cuaca, iklim, dan air.
Banjir dan badai menjadi dua jenis bencana yang paling sering terjadi dan menimbulkan kerugian ekonomi yang paling besar. Selain itu, gelombang panas yang semakin ekstrem juga telah mengancam kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
"Udara yang lebih hangat menahan lebih banyak kelembapan untuk jangka waktu yang lebih lama sehingga kita sekarang memiliki periode kering yang panjang diselingi dengan periode hujan deras yang singkat, bukannya hujan sedang yang menyebar secara merata selama berhari-hari," kata Roxy Mathew Koll, ilmuwan iklim di Institut Meteorologi Tropis India, Pune.
Penelitian yang dilakukan oleh Koll dan timnya menunjukkan bahwa wilayah sekitar Samudra Hindia, yang meliputi sebagian besar wilayah Asia Selatan dan Tenggara, merupakan salah satu daerah yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Baca Juga: Bagaimana Kopi Bisa Terdampak oleh Perubahan Iklim? Adakah Solusinya?
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR