Nationalgeographic.grid.id—Di atas sebuah batu besar berwarna abu-abu di lembah Khyber, Pakistan yang tersapu angin sepoi-sepoi, tertulis sedikit kata untuk generasi mendatang: 'Melakukan kebaikan itu sulit—Bahkan memulai berbuat baik itu sulit.'
Ya, kata-kata bijaksana akan dituliskan, dikekalkan dalam prasasti titah seorang raja yang bijaksana dari Kekaisaran Maurya, Ashoka. Ialah kaisar ketiga yang memerintah salah satu kekaisaran terbesar, paling kosmopolitan, dan terkuat di Asia Selatan.
Ashoka dikenang sebagai salah satu penguasa paling teladan dalam sejarah dunia karena penaklukan geografisnya dan pesan-pesan toleransi yang ia sebarkan ke seluruh kekaisarannya yang luas, dan beberapa di antaranya dikekalkan dalam prasasti.
Namun, dari sekian besar jejaknya, dekrit Ashoka yang ditemukan pada abad ke-19 adalah kunci ketenarannya hari ini. Hingga tahun 1837, ketika sarjana orientalis James Princep menguraikan dekrit-dekrit ini, Ashoka hanyalah seorang kaisar India kuno.
Menariknya, "ketika dekrit tersebut mulai diuraikan oleh Princep, tidak seorang pun tahu siapa penulisnya. Karena prasasti pertama tidak menyebutkan Ashoka, prasasti tersebut menyebutkan 'Piyadasi' (Kekasih para Dewa)," tulis Sanchari Pal.
Pal menulisnya kepada The Better India dalam artikel berjudul Horrified by The Cruelty of War, Emperor Ashoka Built an Infrastructure of Goodness, yang diterbitkan pada 5 Desember 2021.
Butuh waktu lebih dari tujuh dekade bagi dunia untuk memahami bahwa Ashoka adalah Piyadasi. Hal ini dimungkinkan oleh penemuan prasasti lain pada tahun 1915 yang menyebutkan bahwa Kaisar menyebut dirinya sebagai 'Ashoka Piyadasi'.
Meskipun banyak permukaan batu tersebut telah terkikis, pesan Ashoka masih dapat ditemukan di bebatuan di seluruh India—di sepanjang perbatasan kerajaannya, dari lembah Khyber hingga India Selatan.
Untuk memahami pesan-pesan Ashoka, kita perlu menelusuri kisah transformasi yang luar biasa di baliknya—sebuah kisah yang dimulai pada tahun 270 SM, delapan tahun setelah Ashoka berkuasa.
Dalam perang pertamanya setelah naik takhta, Ashoka menyerbu Kalinga, sebuah kerajaan feodal independen yang terletak di pantai timur (meliputi Odisha saat ini dan Andhra Pradesh utara—berbeda dengan Kerajaan Kalingga di Pesisir Utara Jawa Tengah).
"Kemenangan itu memberinya kekaisaran yang lebih besar daripada pendahulunya, tetapi harus dibayar dengan harga yang mahal," terus Sanchari Pal.
Baca Juga: Bayangan 'Raja Kafir' Buat Melayu-Nusantara Menggandeng Ottoman
Source | : | The Better India |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR