Nationalgeographic.co.id—Pernahkah Anda bertanya-tanya bagaimana kerusakan masa lalu kita memengaruhi masa depan kita? Sejarah dunia penuh dengan kisah-kisah luar biasa tentang inovasi, pencapaian, dan kemenangan manusia. Di saat yang sama, sejarah dunia juga penuh dengan kisah tentang kerusakan, kehilangan, dan kehancuran.
Sepanjang sejarah dunia, banyak situs arkeologi, monumen, dan artefak yang tak ternilai telah hancur. Entah itu karena perang, bencana alam, ataupun kelalaian manusia.
Tragedi budaya ini merampas warisan manusia. Selain itu, juga menghilangkan kesempatan generasi mendatang untuk belajar dari masa lalu.
Berikut kisah beberapa kerusakan arkeologi paling dahsyat dalam sejarah dunia. Ironisnya, ada upaya yang disengaja untuk menghapus masa lalu.
Perusakan Perpustakaan Alexandria
Perpustakaan Alexandria merupakan salah satu perpustakaan terbesar dan terpenting di dunia kuno. Perpustakaan ini terletak di Kota Alexandria, Mesir.
Didirikan pada abad ke-3 SM, Perpustakaan Alexandria berisi ratusan ribu manuskrip dan buku. Koleksi tersebut menjadikannya pusat pembelajaran.
Keyakinan yang diterima secara luas saat ini adalah bahwa perpustakaan tersebut terbakar dalam kebakaran besar. “Kebakaran tersebut terjadi selama penaklukan kota oleh Romawi,” tulis Robbie Mitchell di laman Ancient Origins.
Orang-orang cenderung percaya bahwa kehancurannya berlangsung cepat, tetapi kenyataannya justru sebaliknya. Perpustakaan tersebut hancur secara bertahap, selama berabad-abad.
Kerusakan pertama yang diketahui pada perpustakaan tersebut terjadi pada tahun 48 SM. Saat itu Julius Caesar secara tidak sengaja membakar Kota Alexandria.
Sebagian besar pengetahuan kuno perpustakaan tersebut hancur. Hanya sebagian kecilnya yang selamat dari kebakaran pertamanya.
Baca Juga: Antara Kristiani dan Muslim, Siapa Pembakar Perpustakaan Alexandria?
Pada abad-abad berikutnya, perpustakaan tersebut mengalami kerusakan lebih lanjut akibat perang, invasi, dan pengabaian. Kekaisaran Romawi menaklukkan Mesir pada abad ke-1 SM.
Bangsa Romawi memang tertarik untuk melestarikan pengetahuan yang terkandung di perpustakaan. Namun diyakini banyak buku akhirnya hilang atau hancur karena kurangnya perawatan.
Serangan besar berikutnya terhadap perpustakaan terjadi pada abad ke-4 M. Perpustakaan Alexandria ditutup atau dihancurkan. Sumber-sumber kuno menunjukkan bahwa perpustakaan tersebut dihancurkan atau ditutup secara permanen pada saat ini atas perintah Kaisar Theodosius I.
Pada tahun-tahun berikutnya, perpustakaan tersebut berulang kali diserang dan koleksinya perlahan-lahan dirusak. Namun, perpustakaan tersebut tetap berdiri dalam satu bentuk atau lainnya.
Pukulan terakhir terhadap perpustakaan yang dulunya hebat itu terjadi pada tahun 640 M setelah Alexandria berganti penguasa. Penguasa baru kota itu, Khalifah Omar, memutuskan bahwa perpustakaan tersebut harus dihancurkan. Konon, mereka butuh waktu enam bulan untuk membakar semua bahan di dalamnya.
Rincian pasti tentang penghancuran perpustakaan itu tidak diketahui. Yang pasti, hilangnya perpustakaan dan isinya merupakan pukulan telak bagi warisan intelektual dan budaya dunia kuno.
Banyak karya yang disimpan di dalam perpustakaan itu telah hilang dari sejarah. Hilangnya karya-karya itu merupakan kehilangan yang tidak dapat diperbaiki bagi pengetahuan dan budaya manusia.
Kota kuno Palmyra
Situs penting lainnya yang dihancurkan adalah Palmyra. Palmyra merupakan kota kuno yang terletak di Suriah Tengah.
Wilayah tersebut terkenal dengan reruntuhan arsitektur Romawi dan Persia yang terawat baik. Kota ini menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO dan dianggap sebagai salah satu tengara budaya terpenting di Timur Tengah.
“Kota ini diyakini berasal dari periode Neolitikum dalam beberapa bentuk atau lainnya,” tambah Mitchell.
Palmyra telah bertahan dari berbagai penaklukan dan berpindah tangan berkali-kali sepanjang sejarah dunia. Meskipun telah rusak beberapa kali selama berabad-abad, tidak ada yang menyebabkan kerusakan historis sebanyak ISIS.
ISIS merebut kota tersebut pada tahun 2015 selama Perang Saudara Suriah. Saat itu, mereka awalnya berjanji tidak akan melakukan serangan apa pun terhadap reruntuhan kota tersebut. Namun janjinya diingkari hanya dalam beberapa hari berselang.
ISIS memulai aksinya pada 23 Mei 2015 dengan menghancurkan Singa Al-lat dan patung-patung lainnya. Sebulan kemudian, mereka meledakkan Kuil Baalshamin dan seminggu setelah itu, ISIS menghancurkan ruang bawah tanah Kuil Bel. Seakan belum puas menghancurkan jejak-jejak sejarah, mereka tidak berhenti di situ.
Pada bulan September tahun yang sama, ISIS telah menghancurkan tiga makam menara yang paling terawat di kota itu. Termasuk Menara Elahbel yang terkenal.
Pada bulan Oktober, media mulai melaporkan bahwa ISIS telah menjauh dari bangunan-bangunan yang memiliki konotasi keagamaan. Mereka terus menghancurkan bangunan-bangunan lainnya. Penghancuran tersebut berlanjut selama 2 tahun berikutnya.
Penghancuran Palmyra dipandang sebagai upaya untuk menghapus tengara budaya dan sejarah yang dianggap tidak sesuai dengan ideologi mereka. Dunia marah dengan tindakan vandalisme budaya ini. Banyak negara serta organisasi mengutuk penghancuran tersebut dan menyerukan perlindungan situs warisan budaya.
Setelah kota itu direbut kembali dari ISIS, renovasi dimulai, tetapi kerusakannya sudah sangat parah. Pada tahun 2022, sejumlah situs dibuka kembali untuk umum setelah restorasi, tetapi prosesnya akan panjang dan sulit.
Penghancuran Persepolis
Meskipun penghancuran banyak monumen besar dalam sejarah memang disengaja, terkadang keadaan menjadi tidak terkendali. Persepolis adalah ibu kota Kekaisaran Persia, yang terletak di wilayah Iran modern.
Kota ini dikenal dengan bangunan, istana, dan patungnya yang megah. “Persepolis merupakan simbol kekuatan dan budaya Persia saat itu,” ujar Mitchell.
Dalam sejarah dunia kuno, Yunani kuno dan Persia memiliki persaingan yang panjang dan rumit. Secara khusus, orang Yunani tidak pernah memaafkan orang Persia atas penghancuran Athena pada tahun 480 SM.
Ketika Alexander Agung pertama kali berkuasa, ia bertekad untuk memimpin perang besar-besaran melawan Persia. Ia berhasil. Pada tahun 330 SM sang penakluk muda itu menyerbu Persia dan menaklukkan ibu kotanya, Persepolis.
Apakah Alexander Agung bermaksud menghancurkan kota tersebut atau tidak masih menjadi bahan perdebatan hingga kini. Namun, yang kita ketahui adalah, tak lama setelah Alexander Agung menaklukkan Persepolis, kota itu terbakar habis. Sebagian besar kota beserta harta bendanya hancur.
Setelah merebut kota itu, Alexander Agung pada dasarnya memerintahkan anak buahnya untuk bertindak liar dan bersenang-senang. Mereka jauh dari rumah dan telah bertempur hampir tanpa henti selama beberapa tahun. Beberapa sejarawan percaya bahwa selama pesta mabuk-mabukan itu, terjadi kebakaran dan menghancurkan Persepolis.
Beberapa sejarawan lain percaya bahwa kebakaran itu sengaja dilakukan oleh Alexander atau pasukannya. “Pembakaran dianggap sebagai balas dendam atas pembakaran Athena,” ungkap Mitchell lagi. Namun, hanya ada sedikit bukti untuk teori ini dan kemungkinan besar kebakaran itu terjadi secara tidak sengaja.
Apa pun penyebabnya, kehancuran Persepolis merupakan pukulan telak bagi budaya dan sejarah Persia. Banyak bangunan dan harta benda kota itu hilang, termasuk kompleks istana dan patung-patungnya yang megah.
Untungnya, karena sifat konstruksinya, beberapa bagian kota kuno itu selamat. Sisa-sisa Persepolis masih menjadi objek wisata populer hingga saat ini.
Patung Buddha Bamiyan
Ekstremis agama memiliki reputasi hebat karena menghancurkan bagian-bagian penting dari sejarah dunia. Contoh utama dan tragis dari hal ini adalah penghancuran Buddha Bamiyan oleh Taliban pada tahun 2001.
Buddha Bamiyan adalah dua patung besar abad ke-6 yang dipahat di sisi tebing di Lembah Bamiyan di wilayah Hazarajat, Afghanistan. Patung yang terbesar tingginya 55 meter sedangkan yang lebih kecil tingginya 38 meter.
Patung-patung ini dianggap sebagai harta budaya dan agama oleh umat Buddha di seluruh dunia. Namun seiring berjalannya waktu telah diadopsi oleh penduduk wilayah tersebut saat ini yang menamainya Salsal dan Shamama. Penduduk sekitar mengaitkannya dengan kepercayaan lokal mereka.
Sayangnya, setelah Taliban menguasai wilayah tersebut, mereka memutuskan Buddha Bamiyan harus disingkirkan. Apa alasannya? Taliban menganggap patung-patung itu sebagai penyembahan berhala. Penghancuran dimulai pada 2 Maret 2001.
Namun, Buddha Bamiyan tidak runtuh tanpa perlawanan, penghancuran ternyata memakan waktu lebih lama dari yang diperkirakan. Taliban memulai dengan menggunakan tembakan artileri, yang menyebabkan kerusakan berat tetapi tidak menghancurkan kedua patung sepenuhnya.
Taliban selanjutnya mencoba menempatkan ranjau antitank di dasar kedua monumen tersebut. Dengan cara itu, ketika puing-puing jatuh ke lantai, ranjau tersebut meledak dan menyebabkan kerusakan yang lebih parah. Cara tersebut berhasil sampai batas tertentu, tetapi Buddha Bamiyan masih berdiri.
Akhirnya, Taliban menggunakan metode rapelling dan menempatkan dinamit di lubang yang dibuat oleh upaya mereka sebelumnya. Prosesnya memakan waktu beberapa minggu. Namun pada 21 Maret 2001, Taliban berhasil menghancurkan monumen bersejarah yang penting.
Penghancuran ini bukan hanya tragedi bagi umat Buddha, melainkan juga bagi semua orang yang menghargai pelestarian sejarah dunia dan seni. Tidak mengherankan, ada protes internasional yang besar.
Banyak negara dan organisasi telah berupaya membangun kembali patung-patung tersebut, atau membuat replikanya. Namun tidak ada yang dapat menggantikan karya seni asli.
Pembakaran Perpustakaan Nalanda di India
Perpustakaan Nalanda dulunya merupakan salah satu pusat pembelajaran terpenting di India. Perpustakaan itu merupakan bagian dari Universitas Nalanda yang terkenal, yang didirikan pada abad ke-5 Masehi. Nalanda dianggap sebagai salah satu universitas tertua dan paling bergengsi di seluruh dunia di masa itu.
Seperti Perpustakaan Alexandria, Perpustakaan Nalanda merupakan gudang besar pengetahuan dan teks kuno. Tempat ini menyimpan banyak koleksi manuskrip yang mencakup segala hal. Mulai dari sains, matematika, dan kedokteran hingga filsafat dan agama. Tempat ini merupakan pusat pembelajaran yang menarik para cendekiawan dan pelajar dari seluruh dunia, termasuk Tiongkok kuno, Tibet, dan Korea.
Sayangnya, perpustakaan tersebut hancur. Saat itu, pasukan Dinasti Ghurid (Dinasti Persia) yang dipimpin oleh Bakhtiyar Khilji menyerbu daerah tersebut. Mereka mulai menyerang Universitas Nalanda dan biara-biara di sekitarnya.
Perpustakaan tersebut kemungkinan besar dibakar oleh tentara penjajah. Banyak cendekiawan dan pelajar yang belajar di universitas tersebut dihukum mati. Perusakan terus berlangsung setelah itu.
Namun tingkat kerusakan yang sebenarnya dan jumlah manuskrip yang hilang tidak diketahui. Diperkirakan Perpustakaan Nalanda berisi lebih dari 9 juta volume manuskrip.
Pada zaman modern, berbagai upaya telah dilakukan untuk menghidupkan kembali Universitas Nalanda. Kini, Nalanda telah dibangun kembali sebagai lembaga pendidikan modern. Namun, hilangnya perpustakaan kuno beserta koleksi pengetahuan menjadi kehilangan yang tak tergantikan bagi sejarah dunia.
Perusakan Museum Baghdad
Museum Baghdad, yang juga dikenal sebagai Museum Irak, adalah salah satu museum terpenting di Timur Tengah. Museum ini menyimpan banyak koleksi artefak dari Mesopotamia kuno. Termasuk peradaban Sumeria, Babilonia, dan Asyur. Sayangnya, koleksi megahnya mengalami kerusakan parah selama Perang Irak pada tahun 2003.
Setelah jatuhnya Saddam Hussein, kekacauan terjadi di sebagian besar Baghdad. Para penjarah memanfaatkan kesempatan itu untuk menyerang. Mereka membobol museum yang sebagian besar tidak dijaga dan mencuri banyak artefak tak ternilai. Termasuk Vas Warka yang terkenal dan Topeng Warka.
Penjarahan tersebut mendapat kecaman luas dari masyarakat internasional. Untungnya, selama bertahun-tahun sejak saat itu, banyak artefak yang hilang telah ditemukan kembali.
Ada upaya internasional besar-besaran untuk memulihkan museum dan koleksinya. Meskipun museum dibuka kembali pada tahun 2015, ribuan artefak masih hilang. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun bagi koleksi museum tersebut untuk pulih sepenuhnya.
Kisah-kisah tentang kehancuran arkeologi yang dahsyat sepanjang sejarah dunia mengingatkan kita akan kerapuhan masa lalu. Juga tentang pentingnya melestarikan warisan budaya untuk generasi mendatang.
Hilangnya artefak, monumen, dan kota-kota kuno yang tak ternilai harganya karena perang, bencana alam, dan kelalaian manusia adalah tragedi.
Peristiwa tragis ini menjadi pengingat akan perlunya melindungi warisan sejarah. Dengan memahami dan menghormati masa lalu, kita dapat belajar, mengambil inspirasi, dan membangun masa depan yang lebih baik.
Source | : | Ancient Origins |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR