Suatu ketika, Baginda Sulaiman tidak mampu membayar hutangnya. Datuk Maringgih memberikan cara agar Baginda Sulaiman dapat melunasinya, yakni dengan menikahkan Siti Nurbaya sebagai istrinya.
Baginda Sulaiman pun terpaksa untuk menyerahkan Siti Nurbaya, menyebabkan perjodohan yang menyakitkan hati Siti Nurbaya yang sedang setia demi Samsul Bahri. Kabar ini pun sampai ke teling Samul Bahri yang berada di Batavia yang membuatnya sakit hati.
Nasib Siti Nurbaya pada titik ini sangat menderita, karena ayahnya meninggal dunia dan Datuk Maringgih yang sangat kasar kepadanya. Ia pun melarikan diri ke Batavia untuk bertemu dengan Samsul Bahri dan menjalin cinta kembali.
Siti Nurbaya tidak sanggup lagi dengan watak Datuk Maringgih, membuatnya harus kabur ke Batavia untuk bertemu dengan Samsul Bahri dan menjalin cinta kembali.
Sementara di Kota Padang, Datuk Maringgih menuduh Siti Nurbaya kabur ke Jakarta dengan membawa hartanya. Dia menuntut agar Siti Nurbaya kembali atau ditangkap. Siti Nurbaya pun terpaksa kembali ke Kota Padang untuk membersihkan namanya. Namun setibanya di Kota Padang, ia justru dibunuh dengan racun oleh Datuk Maringgih.
Samsul Bahri adalah pemuda yang cerdas, hanya saja kehidupannya penuh dengan nestapa setelah kehilangan ibundanya. Moralnya semakin merosot ketika Siti Nurbaya dibunuh oleh Datuk Maringgih, sehingga dirinya nyaris mengakhiri hidupnya sendiri.
Kemudian pamornya naik ketika ia menjadi tentara KNIL (tentara kolonial Belanda). Pada babak terakhir, Samsul Bahri bertugas ke Kota Padang karena ada pergerakan perlawanan rakyat atas kenaikan pajak. Pergerakan perlawanan rakyat itu sendiri dipimpin oleh Datuk Maringgih.
Dalam pertempuran itu, Samsul Bahri menemukan Datuk Maringgih dan berhasil membunuhnya. Hanya saja, ia sakit parah akibat terkena luka, sehingga membuatnya meninggal dunia.
Sitti Nurbaya bisa dibilang hampir menyerupai Romeo dan Juliet dari Indonesia. Karya sastra Marah Roesli ini kemudian menjadi pesona kebudayaan Sumatra Barat yang tersohor di Indonesia, terutama di Kota Padang.
Selain dalam novel, cerita nasib buruk yang dialami Siti Nurbaya ini dikemas dalam teater dan musik. Kepopulerannya menginspirasi masyarakat di Kota Padang untuk menamai berbagai tempat dan tengara kota menggunakan nama Siti Nurbaya.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR