Nationalgeographic.co.id―Ada banyak nama tempat di Kota Padang dengan nama “Siti Nurbaya”. Mulai dari lembaga swadaya masyarakat, sekolah, taman ruang publik, tengara, sampai destinasi wisata. Tengara dan destinasi wisata Kota Padang yang menggunakan nama tersebut antara lain Makam Siti Nurbaya dan Jembatan Siti Nurbaya.
Sejatinya, Siti Nurbaya adalah nama seorang tokoh fiksi dari Marah Roesli dari novel berjudul Sitti Nurbaya tahun 1922. Dengan penggunaan namanya di berbagai tempat, menambah kekayaan pesona kebudayaan Sumatra Barat.
Marah Roesli merupakan sastrawan nasional dari suku Minangkabau dan berasal dari Sumatra Barat. Novel Sitti Nurbaya yang dibuatnya berisi tentang cinta terlarang karena perbenturan adat dan modernitas. Selain itu juga terinspirasi dari benturan antara kebudayaan Minangkabau dan kolonial Belanda.
Sejarawan dan sastrawan lainnya memperkirakan Sitti Nurbaya dibuat karena pengaruh buruk yang dialami Roesli dengan keluarganya. Keluarganya sangat menentang Roesli menikah dengan perempuan dari suku Sunda, dan menyuruhnya agar kembali ke Padang agar menikah dengan perempuan Minangkabau yang telah ditentukan.
Cerita dari Sitti Nurbaya begitu populer pada kalangan masyarakat di Kota Padang. Saking populernya, beberapa kalangan bahkan percaya bahwa cerita yang dialami Siti Nurbaya benar-benar terjadi.
Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya situs Makam Siti Nurbaya di Gunung Padang yang terkadang disebut sebagai Bukit Siti Nurbaya. Terdapat makam yang dipercaya oleh masyarakat sebagai tempat peristirahatan terakhir Siti Nurbaya.
Gunung Padang bahkan dipandang sebagai latar tempat Siti Nurbaya dengan kekasihnya Syamsul Bahri bertemu. Sebab, tempat ini memiliki pesona alam Sumatra Barat yang sangat indah dengan pepohonan tropis yang rindang untuk bersantai bersama pasangan.
Keyakinan akan kebenaran cerita Siti Nurbaya bahkan diwujudkan lewat Jembatan Siti Nurbaya yang dibangun pada 1995. Jembatan ini menghubungkan Kota Padang menuju Gunung Padang dan Pantai Air Manis.
Jembatan Siti Nurbaya didesain dengan indah dan bernuansa seperti zaman kolonialisme Belanda. Dengan pemandangan berupa Sungai Batang Arau yang menjadi sarana transportasi air, dan daerah sekitar yang merupakan kawasan Kota Tua Padang yang dipenuhi bangunan peninggalan Belanda, membuat nuansa legenda begitu nyata.
Sejatinya, cerita Sitti Nurbaya memang berlatar tempat di Kota Padang pada awal abad ke-20. Dikisahkan bahwa Siti Nurbaya putri dari bangsawan Baginda Sulaiman telah saling jatuh cinta sejak remaja dengan Samsul Bahri. Bahkan, saat Samsul Bahri merantau ke Batavia, Siti Nurbaya masih setia.
Hanya saja, Baginda Sulaiman jatuh miskin akibat permainan bisnis yang licik oleh Datuk Maringgih yang iri padanya. Usaha Baginda Sulaiman bangkrut dan terpaksa membuatnya berhutang pada Datuk Maringgih.
Baca Juga: Tidak Ada 'Rumah Makan Padang' di Padang, Bagaimana Persebarannya Bermula?
Suatu ketika, Baginda Sulaiman tidak mampu membayar hutangnya. Datuk Maringgih memberikan cara agar Baginda Sulaiman dapat melunasinya, yakni dengan menikahkan Siti Nurbaya sebagai istrinya.
Baginda Sulaiman pun terpaksa untuk menyerahkan Siti Nurbaya, menyebabkan perjodohan yang menyakitkan hati Siti Nurbaya yang sedang setia demi Samsul Bahri. Kabar ini pun sampai ke teling Samul Bahri yang berada di Batavia yang membuatnya sakit hati.
Nasib Siti Nurbaya pada titik ini sangat menderita, karena ayahnya meninggal dunia dan Datuk Maringgih yang sangat kasar kepadanya. Ia pun melarikan diri ke Batavia untuk bertemu dengan Samsul Bahri dan menjalin cinta kembali.
Siti Nurbaya tidak sanggup lagi dengan watak Datuk Maringgih, membuatnya harus kabur ke Batavia untuk bertemu dengan Samsul Bahri dan menjalin cinta kembali.
Sementara di Kota Padang, Datuk Maringgih menuduh Siti Nurbaya kabur ke Jakarta dengan membawa hartanya. Dia menuntut agar Siti Nurbaya kembali atau ditangkap. Siti Nurbaya pun terpaksa kembali ke Kota Padang untuk membersihkan namanya. Namun setibanya di Kota Padang, ia justru dibunuh dengan racun oleh Datuk Maringgih.
Samsul Bahri adalah pemuda yang cerdas, hanya saja kehidupannya penuh dengan nestapa setelah kehilangan ibundanya. Moralnya semakin merosot ketika Siti Nurbaya dibunuh oleh Datuk Maringgih, sehingga dirinya nyaris mengakhiri hidupnya sendiri.
Kemudian pamornya naik ketika ia menjadi tentara KNIL (tentara kolonial Belanda). Pada babak terakhir, Samsul Bahri bertugas ke Kota Padang karena ada pergerakan perlawanan rakyat atas kenaikan pajak. Pergerakan perlawanan rakyat itu sendiri dipimpin oleh Datuk Maringgih.
Dalam pertempuran itu, Samsul Bahri menemukan Datuk Maringgih dan berhasil membunuhnya. Hanya saja, ia sakit parah akibat terkena luka, sehingga membuatnya meninggal dunia.
Sitti Nurbaya bisa dibilang hampir menyerupai Romeo dan Juliet dari Indonesia. Karya sastra Marah Roesli ini kemudian menjadi pesona kebudayaan Sumatra Barat yang tersohor di Indonesia, terutama di Kota Padang.
Selain dalam novel, cerita nasib buruk yang dialami Siti Nurbaya ini dikemas dalam teater dan musik. Kepopulerannya menginspirasi masyarakat di Kota Padang untuk menamai berbagai tempat dan tengara kota menggunakan nama Siti Nurbaya.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR