2. India
Berbeda dengan Ekuador, pengakuan warga negara ekologis di India cenderung diusung di beberapa negara bagian. Pada 2017, negara bagian Uttarakhand pernah menyatakan Sungai Gangga dan Sungai Yamuna, danau, udara, padang rumput, lembah, hutan, lahan basah, air terjun, dan gletser sebagai subjek hukum yang disebut sebagai "Ibu Pertiwi".
Fitur-fitur alam tersebut merupakan bagian taman nasional dan memiliki nilai sakral bagi penganut Hindu. Pengadilan Tinggi Uttarakhand menyebut bahwa "Ibu Pertiwi" memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawab yang disesuaikan dengan pihak manusia. Hal itu menjadikan alam harus dijaga dan dilestarikan sebagai hak dasar yang harus dipenuhi negara.
Namun, upaya ini terhenti di Mahkamah Agung karena dianggap "terlalu memaksakan". Alasan lainnya, subjek-subjek alam yang ditentukan Pengadilan Tinggi Uttarakhand mencakup luar kawasan negara bagian.
Pengadilan Tinggi Madras, negara bagian Tamil Nadu membahas pengakuan hak alam pada 2022. Pengadilan mengakui dengan landasan konstitusi India dengan menjadikan alam sebagai "Ibu Pertiwi". Pengakuan ini mengharuskan Pemerintah India dan negara bagian bertanggung jawab melindungi "Ibu Pertiwi" sebagai makhluk hidup yang memiliki entitas hukum dan subjek hukum.
Alam memang tidak bisa menyampaikan suaranya sendiri. Oleh karena itu, hukum untuk alam di Tamil Nadu menggunakan pendekatan Parens Patriae (perwakilan hukum) di dalam sidang perkara lewat masyarakat lokal. Dengan cara ini, hukum modern menyesuaikan cara pandang ekosentris yang dimiliki kelompok masyarakat yang meyakini alam sebagai makhluk sakral dan berhak dilindungi.
3. Selandia Baru
Pengakuan kewarganegaraan ekologis dan hak alam di Selandia Baru terbilang cukup unik. Sebagai Persemakmuran Inggris, Selandia Baru mengadopsi pendekatan masyarakat pribumi yang memiliki hubungan dengan alam sekitarnya. Negara ini juga mengakui pengetahuan masyarakat pribumi di dalam peraturan kewarganegaraannya melalui Perjanjian Waitangi pada 1840.
Hak pengakuan alam sebagai warga negara diterapkan kepada Sungai Whanganui lewat Undang-undang Te Awa Tupua Act pada 2017. UU ini mengakui personifikasi sungai dan hubungan spiritual yang diyakini secara metafisik oleh masyarakat pribumi sekitarnya yang memiliki kepentingan untuk menjaga sungai.
Selandia Baru juga mengakui hak alam melalui kesepakatan antara masyarakat pribumi suku Tuhoe dan pemerintah, yakni UU Te Urewara. UU itu menjami hak alam yang ada di dalam kawasan lindung Te Urewara melalui perspektif dan perwakilan komunitas Tuhoe.
Dari hasil kesepakatan itu, Te Urewara tidak lagi dikelola Departemen Konservasi Selandia Baru, melainkan Dewan Adat Te Urewara. Dengan demikian, upaya konservasi menggunakan falsafah masyarakat pribumi dengan pengelolaan yang mandiri.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR