Nationalgeographic.co.id—Bagi banyak orang, Natal terasa kurang lengkap tanpa pohon cemara hijau yang indah di ruang tamu, dihiasi ornamen berkilau dan hadiah yang terbungkus rapi di bawahnya.
Namun, seperti banyak tradisi Natal lainnya, sejarah asal-usul pohon Natal sebenarnya berasal dari ritual pagan kuno. Pada dasarnya, pohon Natal adalah warisan budaya yang jauh lebih tua dari agama Kristen itu sendiri.
Jika bukan karena pengaruh Ratu Victoria — penguasa paling berpengaruh pada masanya — dan sekelompok tentara Jerman yang dirawat di rumah sakit sementara di Inggris, tradisi menghias pohon cemara yang kita kenal sekarang mungkin tetap menjadi kebiasaan terpencil di kalangan bangsa Jermanik dan Slavia.
Akar Pagan dari Pohon Natal
Dalam The Pagan Origin and History of the Christmas Tree yang dimuat dalam laman ZME Science, Tibi Puiu mengungkap meski pohon Natal terkesan sebagai tradisi modern, akarnya telah tumbuh jauh ke masa lalu.
"Berabad-abad sebelum agama Kristen muncul, masyarakat di Belahan Bumi Utara sudah menggunakan tanaman hijau untuk menghiasi rumah mereka, terutama di sekitar Titik Balik Matahari Musim Dingin," katanya.
Pada tanggal 21 atau 22 Desember, malam mencapai puncaknya sementara siang menjadi yang terpendek. Dalam tradisi kuno, saat ini menandai kembalinya kekuatan dewa matahari yang diyakini melemah selama musim dingin. Tanaman hijau menjadi simbol harapan bahwa musim panas akan segera kembali.
Masyarakat di Mesir kuno menghiasi rumah mereka dengan daun palem hijau untuk menghormati dewa matahari Ra, yang digambarkan dengan kepala elang dan mahkota berbentuk cakram matahari.
Bangsa Celtic di Eropa Utara mendekorasi kuil para druid mereka dengan dahan hijau sebagai simbol kehidupan abadi. Sementara itu, bangsa Viking percaya bahwa pohon-pohon hijau adalah tanaman suci milik Balder, dewa cahaya dan kedamaian.
Bangsa Romawi kuno juga merayakan Titik Balik Matahari Musim Dingin dengan pesta Saturnalia untuk menghormati Saturnus, dewa pertanian, sambil menghiasi rumah dan kuil mereka dengan dahan-dahan hijau sebagai lambang kesuburan dan kehidupan baru.
Saturnalia adalah perayaan terbesar dalam kehidupan orang Romawi. Pesta yang berlangsung selama seminggu ini dimulai pada 17 Desember dan dipenuhi dengan kegembiraan, pesta pora, dan kebebasan luar biasa.
Baca Juga: Tragedi Dosa Kesombongan Antigone dan Polynices dalam Mitologi Yunani
Selama Saturnalia, hukum longgar diberlakukan — pembunuhan, pencurian, bahkan tindakan kekerasan sering kali tidak dihukum. Namun, di balik kekacauan itu, ada juga sisi lembut: orang-orang bertukar hadiah dan menunjukkan kemurahan hati, sebuah tradisi yang mungkin terdengar akrab saat ini.
"Ketika Kekristenan mulai menyebar, kelahiran Yesus Kristus akhirnya ditetapkan pada hari terakhir Saturnalia. Beberapa sejarawan percaya bahwa ini adalah langkah cerdik untuk memudahkan orang-orang pagan menerima agama baru," ungkap Tibi.
Meskipun tanggal sebenarnya dari kelahiran Yesus masih diperdebatkan, keputusan ini perlahan mengubah Saturnalia dari perayaan hedonistik menjadi momen keagamaan yang lebih tenang dan penuh makna.
Awal Tradisi Pohon Natal
"Meskipun banyak budaya kuno menggunakan tanaman hijau selama musim dingin, tradisi pohon Natal yang kita kenal sekarang mulai muncul di Jerman pada abad ke-16," jelasnya.
Saat itu, beberapa aliran Kristen menganggap Adam dan Hawa sebagai orang suci dan memperingati mereka pada Malam Natal.
Selama perayaan ini, masyarakat mengadakan pertunjukan kisah penciptaan di ruang terbuka. Taman Eden digambarkan dengan "pohon surga," pohon yang dihiasi buah-buahan.
Ketika gereja mulai melarang praktik ini karena dianggap penyembahan berhala, beberapa orang membawa pohon cemara ke rumah mereka dan menghiasinya secara diam-diam.
Pohon ini dikenal sebagai "pohon surga," sering dipasangkan dengan piramida kayu berhias lilin untuk setiap anggota keluarga. Tradisi ini menjadi cikal bakal dekorasi pohon Natal modern, termasuk lampu, ornamen, dan bahkan makanan seperti roti jahe dan apel berlapis emas.
Lilin dan Cahaya: Kisah Martin Luther
Salah satu legenda dalam sejarah yang terkait dengan pohon Natal menyebutkan Martin Luther sebagai orang pertama yang menghias pohon dengan lilin.
Baca Juga: Kura-Kura Leher Ular Rote Terancam Punah, Masyarakat Jadi Kunci Konservasi
Suatu malam menjelang Natal, Luther sedang berjalan pulang melewati hutan ketika ia terpukau melihat cahaya bintang bersinar di antara dahan-dahan pohon cemara.
Ingin berbagi pemandangan magis itu dengan keluarganya, ia menebang sebuah pohon dan meletakkannya di rumah, menghiasnya dengan lilin kecil untuk melambangkan langit malam yang penuh bintang.
Pada tahun 1605, pohon Natal mulai menjadi pemandangan umum. Catatan sejarah menunjukkan bahwa penduduk Strasburg menghias pohon cemara dengan bunga mawar kertas warna-warni, apel, wafer, kertas emas, dan permen.
Kontroversi dan Penolakan
Namun, tidak semua orang menerima tradisi ini. Pendeta Lutheran Johann von Dannhauer mengeluh bahwa pohon Natal mengalihkan perhatian orang dari "pohon hijau sejati," yakni Yesus Kristus.
Di Inggris, kaum Puritan, yang dipimpin oleh Oliver Cromwell pada abad ke-17, mengecam tradisi ini sebagai sisa-sisa paganisme.
Mereka menentang pohon yang dihias, Yule log, holly, mistletoe, bahkan lagu-lagu Natal, yang mereka anggap mengotori kesakralan perayaan kelahiran Kristus.
Pohon Natal Modern
Tradisi pohon Natal nyaris terlupakan di Inggris hingga Ratu Victoria dan suaminya yang berkebangsaan Jerman, Pangeran Albert, menghidupkannya kembali.
Pada tahun 1846, mereka digambarkan dalam Illustrated London News sedang berdiri bersama anak-anak mereka di sekitar pohon Natal yang dihiasi dengan ornamen cantik di Kastil Windsor.
"Sebenarnya, para imigran Jerman sudah memperkenalkan tradisi ini ke Inggris sejak awal 1800-an, tetapi masyarakat setempat belum menerimanya," kata Tibi.
Baca Juga: Mochi, Kue Beras Jepang yang Dinikmati sejak Zaman Prasejarah
"Namun, popularitas Ratu Victoria membuat segalanya berubah. Ketika sang ratu mulai menghias pohon cemara dengan hadiah yang digantung di dahan-dahannya untuk menghormati tradisi suaminya, rakyat Inggris pun segera mengikutinya," jelasnya.
Di seberang Samudra Atlantik, pohon Natal awalnya kurang populer di Amerika, meskipun pemukim Belanda dan Jerman sudah lama mempraktikkannya.
Orang Amerika tidak begitu terpengaruh oleh Ratu Victoria, tetapi para pemimpin sipil, seniman, dan penulis mulai mempromosikan citra keluarga kelas menengah yang bahagia, berkumpul di sekitar pohon Natal sambil bertukar hadiah.
"Ini dimaksudkan untuk menggantikan tradisi Natal yang dianggap terlalu liar seperti wassailing, perayaan berpesta dari rumah ke rumah sambil menyanyi dan minum."
Gambaran keluarga yang harmonis ini diperkuat oleh puisi klasik "Twas the Night Before Christmas" karya Clement Moore yang ditulis pada tahun 1822.
Puisi ini tidak hanya mengabadikan suasana Natal yang hangat, tetapi juga membantu membentuk citra modern Sinterklas seperti yang kita kenal sekarang.
Butuh waktu beberapa dekade sebelum pohon Natal menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Amerika. Presiden Franklin Pierce memasang pohon Natal pertama di Gedung Putih pada pertengahan 1850-an.
Kemudian, pada tahun 1923, Presiden Calvin Coolidge memulai tradisi Upacara Penyalaan Pohon Natal Nasional di halaman Gedung Putih, sebuah ritual yang masih berlangsung hingga kini.
Meskipun tidak semua budaya Kristen menghiasi rumah mereka dengan pohon cemara, pengaruh Barat dan meningkatnya konsumerisme membuat pohon Natal menjadi simbol global. Bahkan di negara-negara non-Kristen seperti Jepang, pohon Natal telah menjadi bagian dari perayaan akhir tahun.
Sayangnya, popularitas yang luar biasa ini juga menimbulkan dampak lingkungan yang serius. Di Amerika Serikat saja, sekitar 35 juta pohon Natal alami terjual setiap tahun, diikuti oleh 10 juta pohon buatan yang ternyata memiliki jejak karbon lebih besar.
Industri ini bernilai dua miliar dolar, dengan sekitar 300 juta pohon Natal ditanam di seluruh dunia untuk memenuhi permintaan. Sayangnya, ketika pasokan dari peternakan tidak mencukupi, banyak pohon cemara ditebang langsung dari hutan, mengancam ekosistem alami.
Untuk itu, banyak orang kini mulai mencari alternatif pohon Natal yang lebih kreatif dan ramah lingkungan demi merayakan Natal dengan hati yang lebih sadar akan kelestarian bumi.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR