Selama Saturnalia, hukum longgar diberlakukan — pembunuhan, pencurian, bahkan tindakan kekerasan sering kali tidak dihukum. Namun, di balik kekacauan itu, ada juga sisi lembut: orang-orang bertukar hadiah dan menunjukkan kemurahan hati, sebuah tradisi yang mungkin terdengar akrab saat ini.
"Ketika Kekristenan mulai menyebar, kelahiran Yesus Kristus akhirnya ditetapkan pada hari terakhir Saturnalia. Beberapa sejarawan percaya bahwa ini adalah langkah cerdik untuk memudahkan orang-orang pagan menerima agama baru," ungkap Tibi.
Meskipun tanggal sebenarnya dari kelahiran Yesus masih diperdebatkan, keputusan ini perlahan mengubah Saturnalia dari perayaan hedonistik menjadi momen keagamaan yang lebih tenang dan penuh makna.
"Meskipun banyak budaya kuno menggunakan tanaman hijau selama musim dingin, tradisi pohon Natal yang kita kenal sekarang mulai muncul di Jerman pada abad ke-16," jelasnya.
Saat itu, beberapa aliran Kristen menganggap Adam dan Hawa sebagai orang suci dan memperingati mereka pada Malam Natal.
Selama perayaan ini, masyarakat mengadakan pertunjukan kisah penciptaan di ruang terbuka. Taman Eden digambarkan dengan "pohon surga," pohon yang dihiasi buah-buahan.
Ketika gereja mulai melarang praktik ini karena dianggap penyembahan berhala, beberapa orang membawa pohon cemara ke rumah mereka dan menghiasinya secara diam-diam.
Pohon ini dikenal sebagai "pohon surga," sering dipasangkan dengan piramida kayu berhias lilin untuk setiap anggota keluarga. Tradisi ini menjadi cikal bakal dekorasi pohon Natal modern, termasuk lampu, ornamen, dan bahkan makanan seperti roti jahe dan apel berlapis emas.
Lilin dan Cahaya: Kisah Martin Luther
Salah satu legenda dalam sejarah yang terkait dengan pohon Natal menyebutkan Martin Luther sebagai orang pertama yang menghias pohon dengan lilin.
Baca Juga: Kura-Kura Leher Ular Rote Terancam Punah, Masyarakat Jadi Kunci Konservasi
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR