Nationalgeographic.co.id—Indonesia menempati posisi ketiga sebagai negara yang memiliki hutan hujan tropis terbesar di dunia.
Mengutip data dari Badan Pusat Statistik, Indonesia memiliki daratan kawasan hutan sejumlah 120,4 juta hektare. Karbon yang diserap oleh hutan hujan tropis menyumbang sekitar 75 persen untuk mencegah pemanasan global.
Namun, tampaknya hutan tidak menjadi agenda prioritas utama di Indonesia. Pada nyatanya, jumlah deforestasi tiap tahun selalu naik secara signifikan. Bahkan Indonesia diberi label sebagai "negara dengan laju deforestasi tertinggi.
Selain hutan hujan tropis, Indonesia hampir merajai wilayah hutan rawa gambut se-Asia dengan luas 13,4 juta hektare lahan gambut. Angka tersebut setara dengan 14 persen simpanan karbon secara global.
Di Riau, lahan gambut sendiri seluas 3,8 juta hektare dari totalan luas se-Indonesia. Dalam salah satu penelitian yang terbit di Environmental Research Letters oleh Izaya Numata dan timnya menyebutkan bahwa area hutan di Riau mengalami penurunan secara signifikan dari 70,8 persen pada tahun 1998 menjadi 18 persen di tahun 2020.
Penurunan angka ini disebabkan oleh lahan yang ditujukan untuk perluasan perkebunan kelapa sawit. Tercatat dari tahun 1990 hingga tahun 2020, perluasan ini meningkat sebesar 50 persen.
Apabila menilik dari sisi perekonomian, tentu saja sawit memang berkontribusi besar dalam pendapatan skala nasional hingga internasional. Namun, bagaimana jika melihat dari sisi ekologis yang ditimbulkan?
Dampak ekologis
Kelapa sawit menjadi salah satu komoditas terbesar di Indonesia. Hingga tahun 2024, luas area kelapa sawit di Indonesia terhitung sebesar 8,8 juta hektare, dengan jumlah produksi sebanyak 28,7 juta ton.
Selain meningkatan devisa negara, sawit juga diklaim memberikan fungsi ekologis yakni penyerapan karbon dioksida. Meski Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan bahwa kelapa sawit tidak terkategori sebagai tanaman hutan.
KLHK sendiri mengungkapkan bahwa perluasan perkebunan kelapa sawit yang tidak sesuai prosedur menyebabkan masalah ekologis dan hidrologis. Artinya perkebunan sawit secara monokultur atau tunggal memang memberikan dampak buruk pada lingkungan.
Baca Juga: Mengapa Pohon Sawit Sebanyak Apa pun Tidaklah Sama dengan Hutan?
Hanya memperluas perkebunan dengan hanya mengandalkan pernyataan bahwa sawit berkontribusi menyerap karbon tidaklah tepat. Kegiatan ekspansi perkebunan sawit tentu akan menyebabkan deforestasi.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Dodi Frianto dan timnya pada tahun 2024 menyebutkan bahwa dari tahun 1998 hingga 2022, terdapat penurunan stok karbon tahunan secara konsisten mengakibatkan pengurangan 1.9 ribu ton karbon per tahun.
Hasil penelitian yang bertajuk “Carbon Stock Dynamics of Forest to Oil Palm Plantation Conversion for Ecosystem Rehabilitation Planning” tersebut terbit di Global Journal of Environmental Science and Management.
Dodi Frianto dan timnya melakukan penelitian di Desa Kepau Jaya, Riau mengenai penggunaan lahan dan tutupan lahan selama periode 24 tahun dari 1998 hingga 2022.
“Area perkebunan kelapa sawit mengalami perubahan paling signifikan selama periode 24 tahun, menunjukkan laju pertumbuhan tahunan yang konsisten sebesar 40,1 hektare per tahun. Sedangkan area hutan mengalami penurunan sebesar 23,15 hektare per tahun,” ungkap para peneliti.
“Secara keseluruhan, stok karbon di Kepau Jaya diperkirakan menurun sebesar 1,9 ribu ton karbon per tahun dari tahun 1998 hingga 2022, terutama akibat konversi lahan yang luas dari hutan menjadi perkebunan kelapa sawit,” tulis para peneliti.
Mereka juga menambahkan bahwa hal ini memberikan konsekuensi bagi lingkungan dan alam seperti penurunan keanekaragaman hayati, penurunan cadangan karbon, perusakan vegetasi hingga pengurangan bahan organik tanah yang dapat menyebabkan pelepasan emisi setara CO2.
Untuk mengembalikan cadangan karbon yang hilang, ungkap para peneliti, dapat dilakukan perkebunan dengan teknik agroforestri. Dalam hal ini, dengan menggunakan tanaman kopi liberika (Coffea liberica) dan meranti (Shorea balangeran) yang ditanam di antara barisan kelapa sawit.
Seperti yang diketahui, bahwa agroforestri membutuhkan tanaman hutan dalam prosesnya. Kelapa sawit bukan tanaman hutan sehingga memerlukan pohon peneduh berupa pohon hutan, dalam hal ini menggunakan pohon meranti.
Mereka mencatat bahwa perkiraan stok karbon di area hutan Kepau Jaya akan mencapai 19,4 ribu ton karbon di tahun 2030. Dengan rincian, tanaman kopi liberika menyimpan cadangan sebesar 4,1 ribu ton karbon dan pohon meranti menyimpan 15,3 ribu ton karbon.
Sekali lagi, dapat digarisbawahi bahwa perkebunan kelapa sawit memiliki cadangan karbon yang lebih rendah dibandingkan hutan. Kenapa bisa?
Peralihan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit akan menyebabkan kehilangan 20 hingga 50 persen karbon organik tanah. Sehingga berdampak pada kualitas tanah dan produktivitas tanaman.
Yang mana akan mempengaruhi kapasitas lahan dalam menyerap dan menyimpan karbon di masa mendatang.
Pada akhirnya, pilihan untuk terus memperluas perkebunan harus dipertimbangkan secara matang, mengingat konsekuensi ekologisnya. Apakah manfaat ekonomi harus diutamakan dibanding memikirkan risiko kehancuran?
Penulis | : | Neza Puspita Sari Rusdi |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR