Nationalgeographic.co.id—Sumatra dan Kalimantan yang dikenal dengan keanekaragaman hayatinya yang khas, namun juga menjadi sentra perkebunan sawit Indonesia. Konversi lahan hutan menjadi perkebunan sawit monokultur dapat mengancam keberlangsungan kehidupan di dalamnya.
Meski sawit juga adalah pohon, nyatanya perkebunan monokultur sehebat apa pun tidak bisa menggantikan hutan yang terdiri dari beragam spesies tanaman yang dapat menyerap karbon.
Hutan juga memerlukan aneka satwa yang berperan penting dalam ekosistem. Sebaliknya, perkebunan monokultur seperti sawit sangat rendah keanekaragaman hayati dan menjadi tempat aktivitas manusia.
Berdasarkan laporan Yayasan Madani Berkelanjutan, Sumatra mengalami kenaikan luas sawit dari sekitar 5.7 hektare pada 2011 menjadi sekitar 7.9 juta hektare pada 2020. Perluasan sawit terbesar kedua disusul Kalimantan seluas 3.2 juta hektare dari 2011 hingga 2020, lebih meningkat dari Sumatra.
Konversi lahan terus berlangsung di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan sawit dunia yang terus bertambah. Namun, pemerintah harus mencari cara dalam menjaga atau bahkan memulihkan keanekaragaman hayati yang tercam punah.
Pulau pohon di tengah lautan perkebunan sawit
Sebuah penelitian dipublikasikan di jurnal Science pada November 2024. Makalah bertajuk "Diverse and larger tree islands promote native tree diversity in oil palm landscapes" tersebut dilakukan para peneliti University of Gottingen, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Jambi.
Para peneliti membangun 52 "pulau pohon" dengan berbagai ukuran dan keanekaragaman pohon. Pulau ini berada di tengah lautan perkebunan kelapa sawit industri konvensional di Sumatra. Eksperimen ini menawarkan pendekatan alternatif antara pelestarian keanekaragaman hayati dan industri perkebunan sawit.
“Pulau-pulau pohon yang lebih besar, khususnya dengan luas lebih dari 400 meter persegi, sangat penting bagi spesies pohon endemik dan hutan yang berjuang untuk menemukan habitat yang sesuai di dalam perkebunan kelapa sawit konvensional," kata penulis utama studi Gustavo Paterno dari University of Gottingen, dikutip dari rilis.
Pulau-pulau pohon itu ternyata mempercepat regenerasi alami spesies alami. Pohon yang beragam dalam sebuah kumpulan menangkap benih yang terbang dibawa angin atau burung.
Dengan demikian, terang para peneliti, proses ini meningkatkan keanekaragaman fungsi dan evolusi dalam ekosistem. Peningkatan ini sangat penting agar ekosistem dapat menahan perubahan iklim.
Baca Juga: Bahaya Konversi Hutan Menjadi Perkebunan Monokultur Kelapa Sawit
Pengelolaan perkebunan sawit demi kembalinya keanekaragaman hayati
Temuan Paterno dan tim menambah wawasan tentang pengelolaan perkebunan sawit. Pengelolaan standar biasanya mengandalkan pengembangan keanekaragaman vegetasi dengan semak belukar ditambah herbisida dan pupuk. Spesies asli endemik Indonesia barat tumbuh lebih cepat dan segera menguasai pulau-pulau pohon berkat keragaman vegetasi yang ditanam.
"Studi kami menunjukkan potensi pulau-pulau pohon untuk mengubah lahan pertanian yang miskin keanekaragaman hayati menjadi ekosistem yang penuh dengan keanekaragaman hayati dan tanaman asli," terang peneliti senior Holger Kreft.
Dalam waktu enam tahun, banyak pohon, baik yang ditanam maupun spesies asli yang tumbuh, telah mulai berbuah. Ketinggian pohon juga beragam dengan beberapa di antaranya telah mencapai lebih dari 15 meter.
Ada pun spesies asing juga tumbuh di dalam pulau pohon. Hanya saja, pertumbuhannya hanya mewakili sebagian kecil dari keseluruhan regenerasi alami di dalam kawasan yang direstorasi.
Pendekatan dengan membangun pulau pohon masih jauh dari upaya meningkatkan keanekaragaman hayati seperti hutan. Perlu jangka waktu lebih lama lagi untuk mengembalikannya secara keseluruhan.
Tingkat deforestasi di Sumatra terbilang sangat tinggi. Di Riau saja tingkat deforestasinya mencapai 3,9 juta hektare sejak 2001 hingga 2020, berdasarkan data Global Forest Watch. Provinsi ini juga menjadi salah satu penghasil sawit.
Upaya pengelolaan sawit berkelanjutan tidak terlepas akan peranan hutan. Pulau pohon juga masih memerlukan peranan ekosistem dari hutan yang kaya akan keanekaragaman hayati. Pada bagian kesimpulan, para peneliti mendesak perlindungan petak hutan yang tersisa dengan nilai konservasi yang tak tergantikan.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR