Nationalgeographic.co.id—Dalam sejarah Korea kuno, cuaca sering kali menjadi katalisator kerusuhan politik di Korea. Bencana alam dianggap sebagai pertanda bahwa dewa murka. Untuk meredakan kemarahan para dewa, kurban pun dipersembahkan.
Terkadang, ritual dan pengurbanan tidak diperlukan. Konon kehadiran raja saja sudah cukup untuk membujuk awan agar melepaskan air yang menyelamatkan nyawa.
Hal ini terjadi ketika Raja Sejong mengunjungi Mangwonjeon pada musim panas tahun 1425. Selama beberapa waktu, wilayah tersebut mengalami kekurangan hujan. Menurut legenda, begitu ia tiba, hujan mulai turun.
Karena gembira, Raja Sejong menamai paviliun tersebut Huiujeong. Huiujeong berarti paviliun yang bertemu dengan hujan yang menyenangkan.
Kisah Raja Taejong yang mengakhiri pemerintahan fana dengan hujan
Namun, ayah Raja Sejong, Raja Taejong, diasosiasikan dengan hujan. Raja Taejong sering melakukan pengurbanan untuk mendapatkan hujan. “Hal ini bahkan dilakukan ketika ia berada di ranjang kematiannya,” tulis Robert Neff di laman Korean Times.
Ketika kerajaan mengalami kekeringan parah, ia bersumpah bahwa ketika meninggal, ia akan memohon kepada Surga untuk menurunkan hujan. Menurut legenda, tepat pada hari kematiannya (hari kesepuluh bulan kelima tahun 1422 – kalender lunar), hujan mulai turun.
Bahkan, hujan turun begitu deras sehingga 10 hari kemudian, catatan menyebutkan bahwa tanaman padi rusak karena banjir.
Sejak saat itu, hari ini dikenal sebagai Hari Hujan Taejong. Pemeriksaan buku harian, korespondensi, dan berbagai catatan diplomatik dan angkatan laut dari tahun 1883 hingga 1902 mendokumentasikannya. Menurut catatan, hujan umumnya turun pada hari ini di wilayah Seoul atau Incheon.
Jepang disalahkan atas kekeringan di Korea
Salah satu contoh yang paling terkenal adalah pada musim panas tahun 1882. Saat itu Semenanjung Korea berada di ambang perubahan. Korea menderita kekeringan parah, sumur-sumur kering, dan panen gagal.
Baca Juga: Taejong, Kaisar Paling Kejam dari Dinasti Joseon Kekaisaran Korea
Mengulik Gastronomi Boga Sadhana, Konsep Pangan Masyarakat Pegunungan Jawa Abad 16-17
Source | : | Korean Times |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR