Pada akhir tahun 1890-an, banyak orang menyalahkan trem karena kurangnya hujan. Mereka beralasan bahwa rel trem tersebut melewati punggung naga yang sedang tidur di bawah kota. Karena itu, trem membuat sang naga marah dan menyebabkannya menolak hujan untuk kota.
Yang lain mengeklaim bahwa kabel listrik mengganggu alam, terutama awan. Pada akhirnya, kota menderita kekeringan panjang. Sejumlah trem hancur; bukan karena kurangnya hujan tetapi karena kurangnya kesadaran akan keselamatan.
Ketika hujan tidak turun, orang-orang sering memohon kepada para dewa. Mereka melakukan beragam upaya untuk tidak menyinggung perasaan dewa.
Misalnya, selama musim kemarau warga menahan diri untuk tidak menggunakan kipas angin dan payung untuk melawan panas. Konon keduanya dianggap dapat menghina para dewa dengan menghalangi hujan dan mengusir awan.
Penyembelihan hewan untuk dikonsumsi juga ditunda. Mungkin karena penderitaan hewan akan membuat roh-roh tidak senang. Tapi sebaliknya, hewan merupakan bagian dari pengurbanan yang dilakukan untuk para dewa.
Pada musim panas tahun 1901, The Korea Review, melaporkan:
“Pengurbanan dilakukan di seluruh negeri untuk tujuan mendatangkan hujan. Beberapa kantong nikel dan sejumlah babi dibuang ke Sungai Han untuk tujuan yang sama. Yang Mulia telah diyakinkan oleh pejabat tinggi negeri bahwa tidak akan ada kekurangan. Namun salah satu dari mereka telah secara pribadi memberitahunya tentang kondisi yang sangat buruk. Hingga saat ini, Yang Mulia belum melakukan pengurbanan secara langsung.”
Paviliun Gyeonghoeru di Istana Gyeongbok adalah salah satu lokasi tempat raja Korea memohon roh-roh untuk memberkati negeri dengan hujan. Selama masa pemerintahan Raja Taejong, salah satu ritual hujan melibatkan anak-anak dan salamander. Menurut buku Joseon Royal Court Culture:
“Ritus ‘Doa Kadal untuk Hujan’ dilakukan dengan mengisi toples tanah liat dengan salamander besar. Kemudian meminta anak-anak memukul toples dengan tongkat sambil mengucapkan mantra serempak. Mantra tersebut berbunyi bahwa pemukulan akan berhenti jika hujan mulai turun. Salamander (kadal air) diyakini sebagai naga yang dapat menyebabkan hujan badai.”
Bahkan setelah 3 hari berdoa dan berkurban, hujan tidak kunjung turun. Menurut cerita lain, anak laki-laki di bagian barat daya semenanjung membuat naga dari jerami. Ia kemudian memukulinya hingga mengeluarkan awan hujan. Tidak diketahui apakah anak itu lebih sukses daripada anak laki-laki di istana.
Babi dan salamander bukanlah satu-satunya hewan yang terlibat dalam upaya mendatangkan hujan. Beberapa orang percaya bahwa ramalan cuaca dapat dilakukan dengan mengamati seekor anjing. Jika seekor anjing terlihat memakan rumput, itu pertanda kekeringan yang mengerikan.
Jika kekeringan benar-benar terjadi, hujan dapat dipanggil dengan membuang darah anjing atau kepalanya ke dalam air tawar. Kepercayaan tersebut menyatakan bahwa roh yang melindungi air akan memanggil hujan untuk membersihkan darah dan kepala. Terkadang babi, bukan anjing, digunakan dan darah atau air seni mereka dibuang ke dalam air.
Air seni manusia juga digunakan. Menurut Kim Yongjo, Direktur Purenunsol People Culture Research Institute, di beberapa desa, para wanita akan memanjat gunung di dekatnya. Mereka buang air kecil bersama dengan harapan dapat memancing dewa untuk menurunkan hujan lebat guna membersihkan air seni.
Source | : | Korean Times |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR