Jeong Do-jeon percaya bahwa memiliki putra mahkota muda akan memberdayakan hak ilahi mahkota. Ia dibutakan oleh pemikiran akademis murni dan rasa tidak sukanya terhadap Yi Bang-won.
Mempelajari buku-buku sejarah dapat memberinya sedikit gambaran tentang ketidakadilan dan kemarahan yang akan ditimbulkannya pada pangeran-pangeran lainnya. Namun mungkin ia tidak berani membayangkan sejauh mana kengerian yang dapat ditimbulkan oleh kemarahan seseorang.
Jeong Do-jeon berperan penting dalam membangun pemerintahan bersama Raja Taejo. Dan Raja Taejo menerima nasihatnya dengan penuh pertimbangan.
Pion catur lain di lingkaran Raja Taejo juga memainkan permainan berbahaya ini. Ratu Shindeok, Lady Kang, adalah istri kedua Raja Taejo yang memberinya dua putra.
Sebagai permaisuri, dia adalah orang yang paling dipercaya dan diandalkan sebagai orang kepercayaan. Dia memegang hati Raja di telapak tangannya dan dia ingin putranya mewarisi Takhta Phoenix.
Demi cintanya kepada ratunya dan demi menghormati penasihatnya, Raja Taejo mengangkat Yi Bang Seok sebagai Putra Mahkota. Yi Bang Seok adalah putra bungsunya.
Jika Raja Taejo memilih putra tertua yang memenuhi syarat dalam keluarga, pasti tidak akan ada pertikaian. Namun ia malah memilih seorang anak berusia 11 tahun. Hal ini dilakukan demi cinta sang raja pada ratu.
Takhta yang berlumuran darah
Namun, cinta ini menemui ajalnya, menghilang seperti tinta yang tercecer di air. Ratu Shindeok menemui ajalnya pada tahun 1398.
Konon Jeong Do-jeon mulai berkonspirasi untuk membunuh Yi Bang-won demi mengamankan stabilitas istana. Tindakannya itu pun mengakibatkan Yi Bang-won memberontak. Ia pun mengumpulkan para pendukungnya. Jeong Do-jeon dan para pengikutnya jatuh dan dengan cepat dibasmi.
Hambatan selanjutnya bagi Bang-won adalah putra mahkota, putra kedua mendiang Ratu Shindeok. Yi Bang-won melakukan salah satu dosa terburuk dalam hidup. Ia menodai tangannya dengan membunuh kedua saudara tirinya dari mendiang Ratu Shindeok. Dia menodai permadani pohon keluarga dengan darah.
Ayah Bang-won, Raja Taejo, sudah terguncang oleh kematian mendiang istrinya. Seakan masih belum cukup, ia mendengar berita tentang putra-putranya yang tewas. Dia berteriak seperti makhluk yang telah tertusuk di dada. Ia meratapi istrinya, meratapi kematian anak-anaknya, dan meratapi kematian hati nurani Bang-won.
Yi Bang-gwa, putra kedua dinobatkan sebagai Raja Jeongjong setelah ayahnya turun takhta. Ia hanya menjadi raja di atas kertas saja. Yi Bang-won masih memegang kekuasaan dan dukungan di tangannya.
Seorang saudara yang tidak puas dan mendambakan kekuasaan bangkit melawan Yi Bang-won. Namun ia berhasil dikalahkan. Saat itu Raja Jeongjong tahu apa yang harus dilakukannya. Ia mengangkat Yi Bang-won sebagai putra mahkota dan turun takhta. “Yi Bang-won merebut Takhta Phoenix sebagai Raja Taejong,” ungkap Kang.
Sayangnya, dalam kondisi kesehatan yang buruk, Raja Taejo menolak kehadiran Bang-won. Meski tangannya berlumuran darah dalam upayanya menduduki Takhta Phoenix, Raja Taejong dikenal sebagai penguasa yang berusaha memperbaiki kehidupan rakyatnya.
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR